Jumat, 17 September 2010

Ben & Cana


Tamu itu kembali datang, sepasang kekasih yang kehadirannya senantiasa membuat panik seisi rumah, kehadirannya hanya sekejap mata, mereka datang, memporak-porandakan rumah, lalu pulang dengan menyisakan derai air mata di wajah lara.

Andai saja, mas Ben dan mbak Cana nelpon atau sms dulu sebelum datang, bilang kek, mau jam berapa ia tiba, mau di mana ia berkunjung, pasti kita semua bisa siap-siap menerima kedatangan mereka-barangkali kita bisa mengungsi ke tempat yang paling aman-

Tapi, bukankah kita selalu lupa untuk bersiap siaga, selalu lupa untuk sedia payung sebelum hujan benar-benar turun? ketika hujan itu telah datang, barulah kita semua kerepotan.

Mata
Mati

Waktu
Hilang

Doa
Harumkan tanah dan wajah.

Mas Ben, Mbak Cana, rumah kami sudah terlalu rapuh, tolong, jangan terlalu sering untuk singgah...

Cianjur

Aku bukan kambing pak!

Aku awali tulisan ini dengan sebuah puisi:

Ah, bapak
Bapak!
Aku tak butuhkan sesuatu
Dari dunia
Aku hanya butuhkan
Orang-orang tercinta
Hati-hati yang terbuka, senyum tawa
Dan dunia
Tanpa duka
Tanpa takut
(Pramudya ananta toer, Gadis pantai)

Bapakku pohon cemara

Aku mencintai bapakku sebagaimana aku menyayangi dan menghomati ibu. Namun seringkali aku tidak bisa mengutarakan rasa sayangku kepada keduanya dalam sebaris kata ataupun suara. Karena bagiku, bapak adalah sepohon cemara tua di tengah hutan belantara. Aku tahu bapak dan ibu menyayangiku, meski dalam mengungkapkan rasa sayang kapada anak-anaknya acapkali membuatku menjadi seekor kambing kecil yang tiap hari di beri makan, uang, di gembalakan di tengah padang, merumput lalu pulang ke kandang begitu senja datang.

Hanya bola mata serta kulit kami yang serupa. Cokelat dan kusam. Tidak bening layaknya embun di daun-daun. Selebihnya kami berdua bagaikan dua kutub magnet yang saling berseberangan. Aku tidak mempunyai fisik yang kuat seperti bapak. Tubuhku kecil, kurus dan tidak kuat jika mengangkat beban berat. Aku lebih senang menghabiskan waktu dengan berlembar-lembar novel Pramudya ananta toer atau john grisham di kamar hingga lupa waktu makan. Sementara bapak lebih sering menonton acara sepak bola di televisi. Aku lebih memilih membelanjakan uang saku yang aku punya untuk membeli buku dan balpen ketimbang mainan atau sebungkus rokok seperti bapak. Dan waktuku lebih banyak di habikan di perpustakaan umum dari pada membantu bapak beres-beres barang bekas di gudang.

Dari dulu bapak adalah cemara hutan yang tegar. Perkasa dalam kesunyian. Hari-harinya di habiskan bersama angin dan hujan. Jarang sekali kami bertegur sapa apalagi berbincang panjang. Terlebih setelah cemara hutan memutuskan meninggalkan rembulan yang selama ini ku panggil ibu. Bapak pergi ke pelukan sekuntum mawar segar di taman.yang juga ku panggil dengan sebutan ibu. Ibu tiri. Ah, betapa menyedihkannya sebutan itu kini. Sementara aku, si kambing kecil, semakin larut dalam duniaku yang hanya aku sendiri yang tahu. Aku lupa jika di tengah belantara hutan masih ada sebatang cemara yang rindang.

Tak ada yang perlu aku sesali

Aku sempat begitu marah, pada ibu yang meninggalkanku begitu saja dirumah kakek dan nenek dari pihak bapak di Sukabumi tanpa sepatah kata pun. Meninggalkanku yang terisak begitu mengetahui jika ibu sudah pergi ke Bogor, tempat kelahiranku. Mestinya aku curiga ketika ibu tiba-tiba mengajakku ke Sukabumi mengujungi kakek dan nenek mestinya aku bisa mengejar langkah ibu kalau saja kakek dan nenek tidak menghalangi jalanku. Saat itu Tangisku baru reda begitu bapak tiba mengajakku menemui ibu yang baru. Kawan, waktu itu aku baru berusia delapan tahun.

Dan aku sempat begitu kecewa, pada bapak yang menyuruhku berjualan asongan di pasar begitu aku lulus dari madrasah Tsanawiyah. Tidak ada yang bisa ku perbuat. Aku hanyalah seekor kambing kecil yang patuh saja apa kata orangtua. Padahal di dalam hati aku ingin sekali melanjutkan studi ke SMA. Bapak telah benar-benar menganggapku sebagai seekor kambing kecil yang tidak butuh pendidikan rupanya. Aku masih ingat, ketika dulu aku mengutarakan keinginanku untuk belajar di madrasah Diniyah , dan jawaban yang aku dapat dari ibu adalah hanya menambah uang jajan saja katanya. Lalu ketika aku mengutarakan keinginanku untuk menimba ilmu di pondok pesantren, lagi-lagi jawaban yang aku peroleh dari ibu adalah, disini saja shalatnya masih malas bagaimana mau jadi santri? Tidak ada yang bisa ku mintai tolong. Kakak-kakakku yang lain sudah lebih dulu mengalami kejadian serupa seperti ku. bahkan kakak perempanku hanya bisa menamatkan sokolah dasar. Padahal ia adalah siswi berprestasi di sekolahnya. Seharusnya bapak yang berwiraswasta jadi Bandar rongsokan itu menyediakan anggaran dana pendidikan untuk masa depan anak-anaknya, tidak melulu membelanjakan uang untuk makan sehari-hari saja.

Sekarang sudah tahu bukan, jika di rumah aku tidak lebih dari seekor kambing kecil yang tidak punya hak mengutarakan pendapat. Sungguh tidak demokratisnya keluargaku. Semakin hari aku semakin penat dengan suasana rumah. Sementara di dalam hatiku, aku masih berharap suatu saat bisa meneruskan sekolah.

Ketika itu, di bulan juli 2003, ketika semua anak-anak sekolah masuk ke kelas baru dengan seragam dan teman-teman baru, aku malah hilir mudik di pasar. Jualan asongan.

Aku mungkin bukan pedagang asongan
Yang pergi pagi pulang petang
Bahkan sampai malam
Tiap hari menyusuri jalanan kecil
Di tengah ramainya jiwa-jiwa lapar
Berbekal sepasang kaki yang tak henti mencari:
Cita,
Asa

Disini mungkin aku hanya berniat membuang waktu
Sambil berharap jualanku cepat laku
Cepat membeli mimpi yang lama
Terpajang di etalase puisi.
Sukabumi, 2004.
Pak, tahukah engkau, aku bukanlah kambing yang bisa kau gembalakan sesuka hati.
 
***

Aku sempat berpikir, kenapa aku tidak dilahirkan sebagai kambing? Setidaknya, jika aku betul-betul seekor kambing tentu sekarang bapak bisa menyembelihku agar dagingnya bisa dijual kepasar atau mungkin di jual buat hewan kurban, atau bisa juga bapak membuat sebuah peternakan kambing! Aku sendiri tidak mengerti, sebenarnya apa alasan orang tua melahirkan dan membesarkan anaknya? Jika alasannya ingin memperbaiki keturunan kenapa aku tidak lebih baik dari bapak yang seorang pekerja keras? Aku curiga, jangan-jangan mereka tidak mempunyai niat baik dalam membesarkanku. Buktinya kedua orang tuaku mengabaikan asupan gizi bagi kemajuan intelektualitas dan spiritualitasku. Bahkan untuk menitipkan aku ke sekolah atau pondok pesantren pun mereka malas melakukannya. Kalau saja bapak dan ibu kandungku masih hidup bersama. Ah, hal itu tidak patut di sesalkan memang, namun yang aku pertanyakan sampai sekarang adalah, aku harus mecontoh pada siapa? Aku tidak punya sosok panutan yang baik di rumah.

Alhamdulilah, diawal tahun 2004 seorang teman mengajakku untuk belajar di kejar PAKET C atau setara SMA Pusat kegiatan Belajar Masyarakat ( PKBM). Dan saat itu pula aku sudah tidak betah tinggal di rumah lalu memutuskan tinggal di rumah kakek dan nenek. Sambil sekolah aku nyambi kerja apa saja. Jualan rokok, sales, jadi tukang kredit pakaian, buruh pabrik, sampai jadi penjahit di kompeksi. Dan selama itu juga aku tidak pernah berhenti menulis lalu sempat juga bergabung di Forum Lingkar Pena Sukabumi.

Adakah moment indah?

Aku lupa, apakah aku mempunyai momen yang indah bersama bapak. Ketika aku di tampar karena berkelahi dengan anak tetanggakah? Atau ketika bapak membenarkan letak sarungku yang melorot saat shalat jumatan bersamanya waktu kecil dulu? Entah. Aku sendiri lupa. Tapi bagaimanapun juga , ada momen yang indah atau tidak, bapakku adalah penyumbang dana subsidi terbesar dalam hidupku! Haha! Tatkala tidak ada seorang pun saudara yang yang sudi memberikan bantuannya pada seekor kambing kecil sepertiku, bapak, dengan segala keterbatasannya, sangat berperan bagi perekonomian ku yang saat itu sebagai remaja tanggung masih bingung melihat dan memaknai hidup. Apalagi di tambah dengan emosi yang sangat labil. Mudah tersingung, marah, dan mudah terpengaruh pergaulan bebas ala remaja kota. Meski tanpa perhatian yang berarti, setidaknya bapak selalu memberiku uang untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari meski aku tidak pernah memintanya. Pada saat aku memerlukan uang untuk modal dagang, tanpa banyak bicara bapak memberikanku modal seadanya. Pada saat aku diam-diam tinggal di pondok pesantren, bapak pun memberiku bekal untuk membeli kitab dan segala peralatan yang aku butuhkan di asrama. Meskipun tidak lama aku tinggal di asrama, karena bapak terlanjur menyuruhku untuk bekerja bersama saudara di Cianjur.

Bapak, tersenyumlah padaku

Suatu hari, di sebuah gedung kesenian cianjur, aku bertemu dengan penyair muda. Darinya aku memperoleh pencerahan tentang hubunganku dengan orang tua khususnya dengan bapak.

“Puisi itu bukan hanya kata-kata indah penuh makna dan ribet. Puisi bisa dengan mudah kita dapati di mana saja. Di tootoar, di rumah , di hutan, di manapun kita berada, pasti akan kita dapati bait-bait puisi berserakan. Kita tinggal memungutnya saja. Pengemis di jalan adalah puisi, bencana alam adalah puisi, yang di lakukan bapakmu adalah puisi. Puisi kehidupan. Jadi tidak usah jadi penyair jika dengan hidup saja kita tidak bisa berdamai”. Kata sang penyair padaku.

Ya, biarlah. Meski aku dianggap seekor kambing kecil oleh bapak, namun aku harus berusaha membuktikan pada semuanya jika aku bisa menjadi seseorang yang hebat dan bermanpaat. Bukan sekedar kambing hitam atau kambing congek. Berdamai dengan hidup. Mungkin itu intinya. Entahlah.

Bapak,tersenyumlah untukku. Untuk hari-hari yang berhasil aku lewati. Semua berjalan seperti biasa. Matahari dan embun di daun-daun senantiasa iringi langkah kakikku saban pagi. Meski semua selalu berakhir sunyi.
 
Bapak, tinggal sebatang kara membuatku seolah menjadi rumput kering yang liar. Berjalan tanpa naungan dan arah membuat hari-hariku terasa payah.
Bapak, dimanakah aku bisa menemukan langit biru yangh serupa matamu, agar air mata yang tertumpah memperoleh tempatnya berteduh.

Cianjur, 14 januari 2009
 

Catatan Sunyi



Malam ini hujan beraroma mawar turun membasuh dinding kota, hingga tubuhku yang bertahun-tahun berkarat dan letih tiba-tiba saja berubah menjadi harum, seperti ada tangkai mawar merambat melalui pembuluh darah, angin malam menaburkan serbuk - serbuk mawar ke tubuhku, aroma bunga, mengepungku dari segala penjuru.

Aneh sekali, kota yang biasanya berbau busuk dengan serta merta berubah aromanya. Tidak ku cium lagi aroma got, asap knalpot, serta keringat warga kota. Jika aku pejamkan mata, seolah aku sedang berada di sebuah kebun, dengan kuntum-kuntum mawar merambat di atas pagar. Tapi betapa kecewanya diriku, tatkala membuka mata dan melihat kenyataan yang nampak di depan mata. Hanya aromanya yang berganti, rupa kota dan penghuninya tidak.

Rinai hujan memang sudah mengecil, tidak sederas tadi, aroma mawar tidak begitu pekat terhirup. Aku berjalan keluar, ingin tahu apa reaksi orang-orang dengan hujan yang turun tidak lazim ini. Ah, ternyata tidak ada yang istimewa, kendaraan masih berlalu lalang, dan tidak nampak ekspresi luar biasa dari orang-orang yang berteduh di bawah atap toko.

Jangan-jangan ada yang salah dengan hidungku...

"Kamu tidak jadi pergi? ", suara seseorang, terdengar dari arah belakang, dari hembusan nafasnya yang beraroma kamboja aku tahu itu dia. Aku balikan badan, di depanku, sesosok makhluk berdiri, berwajah sangat pucat dengan sayapnya yang sangat lebar, berwarna hitam dan terlihat angkuh bagi tubuh mungilnya. Aku mengangguk padanya.

"Kenapa? Kamu mulai suka dengan kota ini? Mulai di rasuki dengan aroma busuknya yang tercium begitu harum di hidungmu?."

"Oh Ned, kekalahan ini tidak patut untuk dirayakan, terlebih lagi, aku terlalu letih untuk bepergian, terlalu berat untuk menjalani hidup sebagai seorang nomaden kesepian." Kataku pada makhluk beraroma kamboja yang ku panggil Ned.

"Haha... Kalah dan menang hanya milik orang yang pernah berusaha, sedangkan kamu, sekedar mencoba saja belum pernah, lalu kenapa mesti kalah? ." Ujar Ned dengan sinis.

"Justru itu, aku akan kembali mencobanya disini, kamu tahu bukan, hutan masa laluku teramat kelam untuk di ceritakan, aku ingin membuat jarum jam itu terus berputar, hingga kokok ayam jantan memberi tahu bahwa pagi telah tiba, dan aku dapat melanjutkan hidupku kembali, kelak aku ingin pulang dengan membawa aroma mawar atau melati."

"Meskipun kamu masih tetap merasa bahwa engkau adalah orang yang paling tidak beruntung, tinggal di gudang hanya untuk menanti ajal datang." Ned lalu memperlihatkan sesuatu padaku, secarik kertas dari masa lalu, yang memperlihatkan coretan-coretan.

keluarga
cinta
mimpi
cita-cita
sahabat
sekolah
kuliah
ketulusan
kebebasan
kebodohan

Aku tidak mengira, Ned masih menyimpannya, aku kira ia telah membuang coretan itu beberapa tahun ke belakang.

"Agar kau selalu ingat, bahwa kita pernah berada dalam satu jiwa." Katanya seolah mengetahui apa yang sedang aku pikirkan. "Kamu masih ingin pergi? kalau mau aku bisa mengantarkanmu sekarang."
***

Selalu ada tempat untuk merayakan kekalahan kecil, bersama sunyi yang berada di bawah pohon pinang yang menjulang. Di dedahan pinang itu melilit sebuah kabel serupa sulur, diatasnya ada lampu kerlap-kerlip yang bersinar, seolah sedang menggoda para pengigau untuk datang.

Saat bintang-bintang enggan untuk memberi terang, warna-warni lampu kota menemaniku. Aku jadi tahu,ternyata ketenangan bisa berarti duduk diam tanpa menghiraukan orang dan kendaraan yang berlalu lalang, juga tidak berpikiran macam-macam, seperti pohon cemara yang memilih untuk bertahan dari terpaan musim.

Ingin pergi ke danau, guna menghabiskan sisa sunyi diantara pohon cemara, ingin menikmati suasana pagi dengan menjelma menjadi seekor semut, merayap di sebatang dahan, merasakan aroma kulit kayu yang segar. Tapi disini mana ada pohon cemara, danau jaraknya cukup jauh, sementara esok hari aku masih harus bekerja. Biarlah, dengan menikmati udara malam di bawah pohon pinang yang gemerlapan pun aku sudah sangat bersyukur.

Ned tersenyum di sampingku.

"Suatu saat bintang di langit akan jatuh seperti buah mangga yang matang di pohon, menggantikan sunyi yang sekian lama bertahta di hatimu." Kata Ned padaku.

Iya Ned, aku yakin kok, bahwa tidak ada suatu jiwa pun (diri) melainkan ada penjaganya , karena itu tidak ada alasan lagi bagiku untuk merasa kesepian, atau merasa kehilangan...

Cianjur, 21 Maret 2010

Catatan Retak


Sejak malam menculikku dari rahimmu, kita tidak pernah lagi bertemu. kesunyian telah melumuri tubuhku dengan debu, merubah jiwa menjadi selembar papan tanpa kawan.

Aku tidak yakin kau akan kembali mengenaliku, saat kita bertemu, suatu hari nanti, di sebuah rumah paling aneh.

Aku tidak pernah lagi berucap kata rindu, yang sering kau senandungkan tiap kali mengajari anak-anak mengaji. Aku merasa tidak pernah terlahir dari rahimmu,merasa tidak pernah mengenalmu

: Kampung halaman terbakar
 
tidak ada yang bisa ku selamatkan
meski hanya setitik ingatan
tentang saudara yang di tinggalkan

Bukan jarak yang membuatku retak, karena jaraklah yang mengajariku bagaimana caranya bertahan dari rasa sakit.

Cintaku padamu telah begitu kerdil !

Bapak, ibu, aku lupa seperti apa rupa senyummu...

kalian tahu, anakmu telah tersesat dalam labirin cerita yang di karangnya sendiri.

"Tuhan, tolong kirim selimut paling hangat untuk bapak, juga untuk ibu yang berada dalam hening batu-batu!"
cianjur 2009

Just Note

-Tidak harus sekolah/kuliah untuk jadi seseorang yang lebih baik (Kalian percaya, pendidikan formalku hanya sampai kelas 3 SD)
-Tidak harus masuk lembaga formal untuk dekat dengan Tuhan (Apalagi lembaga-lembaga aneh dan tidak jelas juntrungannya)
-Tidak harus bersama keluarga untuk bahagia (Keluarga bahagia itu seperti apa? Keluarga broken home-kah?)

Aku percaya:

Tuhan tidak pilih kasih dalam mencintai makhluk-NYA.
Jika ada keinginan pasti ada jalan
Aku akan punya kehidupan sendiri yang lebih baik dari saat ini

Maaf teman, inilah hidup, jalan kita tidak selalu sama, pemikiran kita tidak selalu sefaham, kita mempunya takdir yang berbeda dalam mencapai tujuan kita, tujuan yang juga berbeda.
Berbeda denganmu yang selalu berada dalam zona nyaman, aku adalah anak yang terlahir dan besar dalam keterasingan di tengah problematika keluarga yang rumit, aku tidak bisa kemana-mana lagi,

dan terlalu banyak menyia-nyiakan waktu membuatku semakin bodoh saja!

Catatan Kecil Tentang Hari

Tenang itu damai, meski terkesan agak murung, semoga hari ini hujan tidak turun agar aku bisa pulang dengan selamat, tanpa basah kuyup, setidaknya sampai nanti malam.

Ternyata selalu banyak kemurungan, seperti keinginan yang tidak jua tercapai atas apa yang belum juga aku kerjakan! Jika melihat profil teman-teman yang lain, wa, aku bukan apa-apa deh, emang bukan apa-apa kan, tapi aku bangga sudah bisa mengenal mereka, yang tetap konsisten dengan apa yang menjadi pendiriannya, pun dengan prestasi-prestasinya, di usia yang relatif sama denganku, beberapa diantaranya sudah membuahkan prestasi yang gemilang.

Kalau aku, jika tidak bekerja lebih dari sepuluh jam sehari, aku mulai kerja dari pukul tujuh pagi sampai maghrib, full membereskan sampah di gudang, maka aku tidak akan makan, malam hari bawaannya gak betah tinggal, pengennya jalan-jalan, main ke warnet, melihat aktifitas orang-orang, melihat mimpi-mimpi.

Bukannya aku tidak bergerak, Aku memang sedang mengerjakan naskah cerpen buat di kirim ke penerbit,aku butuh waktu dan tenaga untuk itu, aku sedang ingin membukukan cerita-cerita kecilku yang berserakan di note ini menjadi sebuah buku indie yang mungil, juga ingin sekali kembali mengerjakan novelku yang sekian lama terbengkalai pengerjaannya, jalan-jalan ke toko buku selalu membuatku iri oleh karya-karya luar biasa itu, pertanyaannya selalu berujung, kapan ya, kapan ya..

Parahnya aku tidak merasa sebagai orang yang sibuk, hingga waktu luangku banyak terbuang percuma karenanya, plise aku mau fokus.. Aku masih merasa terpenjara dan kesepian.

Saat ini, di taman Ganeca, sebelum mampir dulu ke warnet, aku merasa sangat nyaman, tidak risih membawa buku kemana pun dan membacanya, karena di taman ini ada banyak tempat romantis untuk menulis! Kalau saja aku tidak memakai sandal jepit, aku ingin masuk ke ITB, menyamar sebagai mahasiswa!

Apa yang akan aku kerjakan besok, tidak tahulah, sekarang musim tidak bisa di prediksi, hujan bisa kapan saja turun membuat banjir, atau meneduhkan daun-daun.

Satu prestasiku saat ini hanyalah, aku bisa membeli buku terbaru Linda christanty,dengan hasil kerja keras sendiri, tidak seperti dulu, saat aku harus meminjam buku kumpulan cerpen Linda yang Kuda terbang maria pinto di perpustakaan umum daerah.

Semoga dari buku ini aku kembali termotivasi untuk nulis, seperti waktu pertama kali aku membaca buku Linda christanty.

salam rumput liar.

Surat Sederhana Untuk Tuhan

Tuhan, sudah lama kita tidak saling sapa, lidahku selalu kelu saat hendak menyeru nama-Mu, seperti juga jemariku yang beku, tidak menulis apa-apa, tidak menyentuh apa-apa, sementara waktu terus melaju, meninggalkanku yang belum menghasilkan apa-apa.

Tuhan, apa kabar-MU…?

Di tempat ini aku kok selalu kesepian, merasa tidak bisa apa-apa, tidak punya siapa-siapa, merasa sangat sakit, sangat kosong, hitam.

Maapkan aku, Tuhan..

Bunga popi di sekelilingku telah membuatku mabuk, apa aku akan terus seperti ini
: Hina, kotor, pemalas, pembual, ingkar

Aku menghisap aroma bunga popi dari semenjak kecil, saat ayah dan ibu berpisah, dan tidak bersatu lagi…

Aku begini, apa peduli-MU…

Aku sempat bermimpi untuk hidup normal seperti orang lain, bisa sekolah, punya rumah, punya kekasih, memiliki pekerjaan yang baik

Namun, apa peduli-MU..

Tuhan, aku sudah sangat sakit, belum dapat mengurai hikmah dari setiap episode yang di lalui

Tuhan, aku rindu pada-MU..

Tuhan, aku ingin menjadi puisi yang terlahir dari seorang pujangga pilihan-MU, agar bisa seperti Muhammad, yang mencintai-MU dengan seutuhnya

Aku ingin menjadi sebuah cerita, yang bisa di kenang dan di cinta, yang dapat membangunkan lelap daun-daun, pergi ke rumah-Mu di pagi sunyi

Tuhan, sudah lama aku tidak pernah meminta apa-apa dari-Mu, ampunilah segala kesombonganku, sebab bibir ini sudah bisu, kering tuk memohon ampunan-Mu

Tuhan,
”Aku berlindung kepada-MU yang menguasai subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita….”

Tuhan, aku sangat berharap Engkau membalas suratku yang tidak seberapa ini….
Amin.

Cianjur 2009

Semut


 Suatu hari, seekor semut terpikat oleh aroma gula-gula dari taman bunga, yang ternyata hanyalah fatamorgana. Ia sendirian kini. Koloninya telah jauh pergi. Ia tersesat!.

  Malam hari, ketika semut mencari rumah di sebuah lembah, ia di kejutkan oleh suara yang entah berasal dari mana. Bumi menggeliat, menyapa tanah dan rumput.

  "Apakah ini adalah hari dimana Israfil meniup sangkakala...?" Bisik semut pada rumput. Namun ternyata itu hanyalah gempa biasa, yang cuma menimbun sebuah kampung serta mengambil beberapa jiwa saja.

  Pagi hari,semut yang tengah terlelap berselimutkan selembar daun tiba-tiba di kejutkan oleh bunyi yang menyerupai derap kuda. Semut berharap itu adalah suara derap kuda Sulaiman dan bala tentaranya, agar ia bisa bertanya, dimana sekarang koloninya berada. Namun, suara itu ternyata adalah bunyi larva pemangsa, yang tengah membuat perangkap untuknya.

  Semut mulai didera rasa takut. Ia menyesal telah meninggalkan koloni serta keluarga yang sangat di cintai. Sepasang antena di kepalanya tidak mampu mendeteksi keberadaan mereka. Ia kesepian, kelaparan, ketakutan.

  Setelah berminggu-minggu tersesat, akhirnya sang semut menemukan sebuah sungai. Ia lalu memutuskan untuk menghanyutkan diri ke dalamnya, berharap sampai ke muara dan ada seseorang yang sudi memungutnya di seberang sana.

  Belum sampai ke muara, seorang pengembara bertopi jerami telah menemukannya yang tengah kedinginan, mengambang di atas sungai. Dengan suara yang serak, Semut bertanya pada pengembara bertopi jerami, dimana ia bisa menemukan rumah untuk berteduh. Sang pengembara berkata,

  "Sesungguhnya aku melihat api . Aku kelak akan membawa kepadamu kabar darinya, atau aku membawa kepadamu suluh api supaya kamu dapat berdiang" *

  Semut tidak mengerti apa yang baru saja di katakan pengembara bertopi jerami.

  "Engkau lupa untuk selalu bertasbih, anakku, makanya engkau tersesat, baiklah, mari kutunjukan padamu rumah cahaya di balik bukit".

  Tapi, sebelum tiba di sana, semut itu telah menjadi bangkai. []

* Qs. An-Nahl ayat 07.

Menulis Sebagai Terapi Sakit Hati


“Kamu abis nangis? “ Tanya Nono temanku sambil memerhatikan mataku yang sembab.

“Tidak, aku habis nulis". Jawabku. Nulis sambil nangis, hiks!
“Habis nulis kok matanya bengkak? Ayo, jujur deh, pasti abis nangis”
“Aku baru beres nulis kok, Cuma, sambil nulis aku nangis”.
“Tuh kan, abis nangis, kenapa? “
“Nggak apa-apa, sekarang perasaanku sudah agak baikan kok, tadi sudah di curhatin ke buku, hehe..”.


Hei, kamu pasti pernah merasakan, bagaimana perihnya sakit hati. Ya, yang namanya hidup pasti selalu ada beraneka macam masalah, yang ujung-ujungnya membuat kita prustasi, terluka, patah hati. Rasanya tidak baik jika kita membiarkan perasaan itu berlarut-larut hingga mengakibatkan orang-orang di sekitar kita kalang kabut. Tidak baik melampiaskan kekesalan kita dengan marah-marah. Selain nangis, sabar, berdoa, curhat ke teman-teman, ternyata menulis pun bisa menjadi obat mujarab untuk meredam perasaanmu yang tidak menentu.

Sebelum aku melanjutkan tulisan ini, aku mau bercerita dulu pada kalian.

Suatu hari, aku pernah merasa beruntung, memperoleh seorang kawan yang baik hati lagi pengertian. Aku yakin, dialah sahabat sejati yang di kirim tuhan untuk menemani hari-hariku yang sunyi , jauh dari keluarga dan tanah kelahiran.

Akan tetapi, senyumnya yang senantiasa ada untukku tiba-tiba meredup, bahkan tidak lama kemudian senyum itu hilang! Aku kembali pada kehidupanku yang dulu, yang berlumut dan terasing.

Aku berkaca ke dalam diriku sendiri: Tidak pandai bergaul, tidak mudah beradaftasi dengan lingkungan, pendiam. Pantas saja dia menjauhiku, barangkali aku bukan kawan yang baik untuknya.

Sakit hati? Ah itu tidak seberapa, hatiku pernah merasa sangat sakit, pada saat malam takbiran dua tahun kebelakang.

Saat itu, ketika orang-orang tengah merayakan hari kemenangan menyambut esok pagi nan fitri, aku mesti tinggal seorang diri disebuah kamar kontrakan sempit, tanpa teman, keluarga, tanpa baju baru, kue-kue lucu, maupun ketupat dan opor ayamnya. Sebab saat itu, aku tidak memiliki uang untuk pulang kampung.

Sakit hati? Ah itu tidak seberapa. bahkan, pada saat jiwa dan ragaku sudah tidak kuasa menahan beban dan kecemasan, Aku sempat ingin mengakhiri hidup!

Sakit hati? Ah, itu belum seberapa! Masih banyak orang-orang yang memiliki kisah hidup menyakitkan, masih banyak orang-orang yang tinggal di sebuah lingkungan yang lebih keras dan kejam.

Beruntung sekali aku memiliki kegemaran menulis, yang pada akhirnya, kebiasaan menulis itulah yang mampu membuatku bertahan, melepaskan racun-racun yang menumpuk didalam otak. Baik di sadari maupun tidak, menulis telah menyelamatkan jiwaku, menerapi hatiku. Selain dengan lima obat hati yang dilantunkan Opick tentunya.

Hei, perasaanku jadi lebih tenang setelah menceritakan sepenggal kisah hidupku pada kalian!

Teman Yang Pengertian

Aku menulis puisi di bawah ini ketika aku dilanda kepanikan.

Rumput liar telah mati

Kepada penggembala,
Yang nanti sore tiba
Sudahkah engkau mendengar kabar
Jika rumput liar di tengah padang
Telah layu dan tidak ingin lagi menulis puisi
Percuma kau pergi ke savana
Ia tidak akan ada disana
Jemarinya yang kecil
Tidak mampu lagi memegang pensil

Sehabis bunga-bunga menebarkan warna,
Kau tidak akan pernah lagi menemukannya.

Cianjur
16-08-2008

“Selamat tinggal, aku akan mati dulu sebentar”

Puisi penebar terror! Haha! Yang memaksa taman-temanku untuk membuat puisi balasan untuk dikirim padaku via sms.


Tahukah engkau
Penyihir kata telah menyisipkan lempeng puisi di benakmu
Lalu bait menjelma bunga di muara air
Kuncup mudanya tak henti bermain riang
Di desau angin
Jangan berhenti,
Kuncupmu hampir mekar.

-vinas-

Begitulah, ketika aku merasa panik atau merasa tidak nyaman dengan sesuatu, aku menuliskan perasaan itu dalam bentuk tulisan. Terserah orang mau menganggapku cengeng, melankolis, atau apa pun itu, yang jelas, rasa sakit dan kesedihanku bisa tersalurkan ke hal yang positif. Meski tak jarang teman-temanku mencibirnya juga.

“Oh, jadi kekuatan seorang calon penulis bernama khoir Cuma segini, ah cemen!” kata temanku, seorang cerpenis bernama Yessy af sinubulan. Ya, berita kematian sebatang rumput telah menyebar keseluruh pelosok! Beruntung, aku masih memiliki teman-teman yang pengertian, yang tidak pernah berhenti memberiku kekuatan. Kata salah seorang temanku, “ Ada saat kita harus berjalan pelan dan tertatih-tatuh, ada banyak hal yang tidak kita dapatkan saat berjalan tergesa”

Itulah, salah satu keuntungan menulis di saat-saat panik, salah satunya, bisa mempererat tali persahabatan.

Sembuhkan rasa sakitmu dengan menulis.

Tahu tidak, tatkala emosi kita sedang meledak-ledak, energi yang ada di dalam tubuh kita bertambah, kepala kita rasanya mau pecah! Sayang sekali bukan, jika energi yang besar itu di sia-siakan dengan teriak-teriak, mengurung diri di kamar, menangis di bawah selimut!. Karenanya, coba deh kamu tuliskan perasaanmu itu.

Terlebih lagi, buat kamu yang ingin bisa menulis tapi sulit untuk mngeluarkan pikiran-pikiran yang masih mengendap di dalam otak. Hei! Kamu bisa memulainya dari sekarang! Dari perasaan-perasaan yang ada didalam dirimu!

Menulis itu sebuah proses, kita tidak bisa serta merta menciptakan masterpiece, tanpa lebih dulu melalui proses yang panjang dan berliku.

Di bawah ini aku punya tips sederhana yang bisa kamu terapkan dalam keseharianmu:

Tipsnya enteng saja, jika kamu sudah memiliki handpone dan handpone itu kamu bawa kemana pun kamu pergi, bagus. Jika kamu mempunyai sebuah laptop dan tidak bisa pergi kemana pun tanpa laptop kesayangan, bagus. Jika kamu senang membawa buku catatan kecil di saku bajumu plus alat tulisnya, bagus. Atau, kamu maniak dengan facebook atau pun blog? Yup, bagus! Karena dengan fasilitas-fasilitas yang aku sebutkan diatas, sebetulnya kamu sudah punya modal untuk membuat sebuah karya hebat! Bagaimana caranya?

Tulis perasaanmu, biarkan imajinasimu terbang, melayang! Ketika hatimu merasa tersentuh oleh sesuatu, merasa rindu, marah, benci, dendam, tulislah semua perasaanmu itu dalam beberapa baris kata, yang menggambarkan suasana hatimu saat itu. Sederhana sekali bukan? Awalnya kamu menulis perasaanmu, lalu pengalamanmu, lalu pandanganmu terhadap lingkungan di sekitarmu, lalu karakter orang-orang di lingkunganmu, lalu kamu menulis beberapa bait puisi, lalu cerpen, lalu kamu ingin terus menulis! Begitulah yang aku rasakan selama ini. Aku menulis buku harian, catatan perjalanan, puisi, cerpen, meskipun masih sebatas personal, belum berani di publikasikan.

Kamu boleh menulis apa pun yang kamu rasakan, dengan catatan, kamu mesti mengimbanginya dengan banyak membaca buku, dan jeli menangkap isyarat yang di bertebaran di sekelilingmu. Tangkap isyarat itu, lalu tulis dalam catatanmu.

Maka, pada saat dirimu telah mempunyai niat untuk membuat tulisan yang serius, baik artikel, cerpen, novel, puisi, makalah, kamu tidak akan merasa terbebani dan kesulitan untuk mengelurkan kata-kata yang berputar-putar di kepala. Aku bisa bicara seperti ini karena waktu ku buat nulis lebih banyak dari pada untuk bicara! Aku kurang lancer berbicara di depan umum, aku labih menyenangi berkutat dengan diri sendiri, menulis, menulis. Ingat lho, bahasa yang terus dilatih akan semakin lincah. Dan, kamu akan heran sendiri, ketika kamu bisa menyelasaikan tulisanmu hanya dalam beberapa waktu saja, meski kamu menulisnya dalam suasana hati yang tidak menentu!.

Menulislah!

Lebih baik marah-marah dalam sebuah cerpen daripada marah-marah langsung sama orang yang kita tidak suka! Selain akan menjadikanmu lebih kreatif, perasaanmu pun akan jauh lebih baik.


Setelah kamu menyelesaikan tulisanmu, terserah kamu mau diapakan hasil karyamu itu, mau di buang, di baker, di simpan, di berikan ke teman, di kirim ke Koran, di muat di blog, ya terserahlah! Itu hak kamu!. Yang penting perasaanmu bisa lebih tenang sekarang.

So, dari pada larut dalam pikiran yang kusut, lebih baik kamu menyalurkannya ke hal-hal yang positif, salah satunya adalah menulis.

Eh, tahu tidak, sebenarnya saat ini aku sedang menerapi hatiku dengan menulis artikel ini, yup, saat ini aku tengah sakit hati sama seseorang, sakit hati karena lingkungan dan kehidupan, sakit hati karena sampai sekarang belum juga menemukan sosok sahabat sejati, sakit hati karena impian yang masih jauh di awang-awang !

“Hatimu masih sakit? Kok belum berhenti menulis?” Tanya Nono
“Sakit hatinya sih sudah lumayan reda, Cuma, tanganku belum mau berhenti menulis! Awalnya sih mau corat-coret saja, eh tiba-tiba muncul ide-ide lain untuk melanjutkan corat-coretku ini jadi sebuah cerita”. Kataku. “ di dalam cerita ini, Sekarang aku sedang balas dendam dan memarahi orang yang telah membuatku sakit hati, hehhee”.
“Dasar!”.[]




To: teman-temanku yang sudah curhat tentang sakit hatinya, aku buat artikel ini untuk kalian, mulai sekarang harus percaya pada kekuatan sebuah tulisan, dan jangan malas lagi buat nulis, aku mengerjakan tulisan ini di sebuah gudang rongsokan setelah beres kerja lho, di tulis tangan dulu! Ayo…! Pergunakan laptopmu sekarang juga, kalau gak di manpaatkan, buat aku aja, hehee ( becanda ding!)
 

Mengantar Ibu Ke Pabrik

Seperti katamu, pagi ini kita akan sarapan di pabrik, dua bungkus plastik berisi nasi telah kau bungkus bersama beberapa biji cabe, botol aqua telah penuh berisi air putih, biar kayak dokter, minum air putih menyehatkan badan , katamu, di jalan kita mampir ke warung untuk membeli gorengan.

Pintu rumah ibu biarkan tidak terkunci, tidak ada barang-barang yang patut di curi memang, lagi pula bapak belum pulang dari pasar, ia tidak membawa kunci cadangan.

Sudah, jangan kau pedulikan anak-anak tetangga itu, kata ibu padaku ketika kulihat beberapa anak tetangga berseragam putih merah berangkat ke sekolah membawa sekotak makanan di antar ibunya. Usiamu sudah delapan tahun, badanmu sudah bongsor, tidak cocok lagi untuk sekolah, orang seperti kita lebih baik berangkat ke pabrik atau pasar untuk nyari duit, sekolah tidak membuat orang jadi sholeh, kata ibu padaku, tidak terasa kami sudah sampai di depan pintu gerbang pabrik daur ulang barang-barang bekas,

ketika hendak memasuki pabrik, sepertinya aku melihat sosok bapak di seberang jalan sana, ibu ada bapak di seberang jalan, boleh aku menemuinya? Kataku, tanpa pikir panjang lagi ku lepas genggaman ibu, berlari ke arah bapak,

ke arah sebuah lorong panjang, sempit, pengap, ku lihat wajah bapak di sebuah ujung, membalikan badannya, berjalan, aku ikuti dengan nafas tersengal, aku ikuti dia, hingga peluh menetes tidak terkendali, membanjiri tubuh,

"Bapak, mau kau bawa kemana diriku, Haruskah aku terus mengikutimu, langkah yang patah, tak tentu arah, atau kembali pada ibu, kembali ke pabrik itu... "

Hingga selesai ku seberangi jalan, tidak ku dapati sosok bapak sama sekali, hanya teriakan ibu terdengar dari seberang,

"Nak, kamu lupa membawa topimu, kemarilah dulu, biar ibu sematkan topi ini untuk melindungi kepala kecilmu..."

Cianjur 2010

Anak Yang Ingin Terbang Seperti Burung

“Burung, kenapa kau punya sayap?” Tanya Seorang anak laki-laki pada seekor burung layang-layang yang tengah hinggap di dedahan. “Aku ingin punya sayap, seperti dirimu, agar dapat mengangkasa jauh seberangi samudera. Burung lelayang yang baik, kau bisa bercerita padaku, kenapa Tuhan memberimu sepasang sayap yang indah sedangkan aku tidak, aku juga ingin terbang bebas seperti halnya engkau, tidak melulu terpenjara dalam sangkar tanpa rupa, tanpa ibu..Burung, aku ingin punya sayap..” Serunya, mungkin karena kaget atau merasa terganggu, burung layang-layang itu tiba-tiba mengepakan sayapnya, pergi meninggalkan anak laki-laki yang masih diliputi tanya.

Pada malam hari, saat anak laki-laki itu tengah tidur lelap sekali, seseorang menjenguknya, di letakannya sepasang sayap berwarna cokelat di atas tubuhnya, lalu ia pergi melewati jendela yang sedikit terbuka.

Di bawahnya ada secarik pesan indah terbingkai.

”Hadiah kecil dari ibu, sepasang sayap cokelat untuk anakku yang sebentar lagi berulang tahun, maaf ibu tidak bisa hadir memberimu ucapan selamat, salam sayang, ibu di atas awan.” []

Cianjur 2010

Pohon Mangga Pingkan

Pingkan akan kembali mengunjungi masa kecilnya pagi ini. Tidak ada bekal uang atau pakaian
hanya di temani beberapa tangkai bunga kecil yang nanti akan ia berikan pada pohon mangga
yang daun-daunnya berwarna cokelat pekat, mengeluarkan aroma batu sungai,
aroma yang sangat ingin ia hirup untuk memompa jantungnya agar tetap hidup.

Pingkan pun melangkahkan kakinya melewati sebuah pintu yang dijaga ketat oleh beberapa raksasa biru bermata bola-bola merah sunyi, yang kapan saja bisa melahap tubuh mungilnya, Pingkan menanggalkan alas kakinya agar bumi yang ia injak bisa lunak dan empuk. Pingkan tahu, untuk sampai ke masa kecilnya, ia harus suci dari apa pun yang menempel dalam jiwa raganya.

Demi pohon mangga dan masa kecil yang indah, maka tanggallah sebiji matanya, gigi, hidung, paru-paru, kecemasannya, keragu-raguannya.

Pingkan tahu ia tidak punya apa-apa lagi saat ini, hanya perasaannya pada Pohon Mangga yang terpelihara senantiasa, serta setangkai bunga kecil untuknya, seseorang yang paling ia sayangi melebihi apa yang ia miliki.

cianjur 2010

Rahasia Selma


Berbeda dengan Kumpulan cerpen Linda Christanty yang pertama, Kuda Terbang Maria Pinto (KTMP) yang dari segi cover terkesan murung, suram dan kelam, buku kumpulan cerita terbaru Linda christanty , Rahasia Selma, terlihat sangat centil dengan menampilkan sepasang kaki gadis kecil berstoking hijau muda bunga-bunga mengenakan sepatu sandal, terlihat ngejreng dengan warna kuning yang dominan. Saya tidak peduli anggapan orang yang berada di gerbong kereta api ekonomi jurusan Bandung-cianjur ketika saya membaca buku dengan cover centil itu, lelaki lain mungkin akan risih untuk membacanya di depan umum, atau gengsi, tapi bagi saya, kesebelas cerita yang terdapat pada buku ini jauh lebih menarik daripada sekedar cover yang bisa di sampul kapan saja.

Tidak Secentil Covernya

Kita akan sangat menikmati pengembaraan Linda christanty dalam ceritanya yang sedikit miris, kejam bahkan nakal.

Kadang-kadang aku berdoa agar ibu cepat mati... (Menunggu ibu, hal.25) adalah kalimat pertama dari faragrap terakhir cerpen Menunggu Ibu, bercerita mengenai seorang anak yang tinggal bersama ibunya yang memiliki gangguan kejiwaan. Kemirisan yang di alami tokoh-tokohnya bisa juga di baca di dalam cerpen Kupu-Kupu Merah Jambu, Mercusuar, Kesedihan. Kita memang tidak akan menitikan air mata setelah membacanya, tapi diam-diam jiwa kita telah terperangkap, tidak bisa kemana-mana seperti kupu-kupu kecil merah jambu yang tidak lagi memiliki sayap.

Anak-Anak Yang Berjuang Sendiri Melawan Sunyi

Jika dalam KTMP. Linda christanty banyak bercerita mengenai perjuangan aktivis dan politik sebagai latar belakang cerita, dalam Rahasia Selma Linda banyak menghadirkan cerita tentang anak-anak yang berjuang sendiri melawan sunyi.

Seperti seorang anak yang senang bertengger diatas dahan pohon kersen seraya membaca komik yang ia pinjam dari salah seorang saudaranya, dengan persyaratan yang membuat si anak demam dan kesulitan untuk buang air kecil. Pun dalam cerpen Rahasia Selma, Selma sampai harus pergi ke lembah walau di larang keras oleh ibunya, sekedar untuk mencari kura-kura dan berharap menemukan teman baru disana.

Puitis, Pengembaraan Dan Perlawanan atas ketidakadilan

Ada benang merah yang menghubungkan kumpulan cerita Rahasia Selma dengan KTMP. meskipun sebagian cerita dalam buku ini adalah cerita-cerita lama yang belum sempat di masukan ke dalam buku KTMP. Yaitu bahasa Linda christanty yang puitis, halus, serta adanya perlawanan atas ketidak adilan yang di alami para tokohnya, juga pengembaran Linda Christanty yang akan membawa kita pada berbagai jazirah dan imaji.

Ketika ayahnya menyerah pada Izroil di malam itu, dia bercinta dengan sebuah jazirah gelap di utara (Jazirah di utara, hal. 95)

MENJELANG senja Yosef Legiman melihat Maria Pinto mengarungi langit dengan kuda terbang. Angin tiba-tiba menggeliat bangkit dan mendesis. Udara menjelma mantra ganjil yang berdengung dalam bahasa sihir; wangi, membius segala yang bergerak dan keras kepala... (Kuda terbang Maria Pinto, 2004)

Hampir pada semua cerpen Linda christanty, terutama Mercusuar, serta Para Pencerita, sisi kemanusiaan kita akan tersentuh, tanpa kesan kita sedang di gurui, seperti kata Sutardji calzoum bachri, Linda menghadirkan tema kemanusiaan tanpa menyerahkan sastra ke bawah telapak kaki penindasan pesan.

Cerita-cerita dalam buku Rahasia Selma sangat segar, meskipun saya tahu Linda christanty tidak menghadirkan cerpen-cerpennya yang lain dalam buku ini, masih ada beberapa cerpen yang belum ia masukan, salah satunya adalah cerpen yang di terbitkan di jurnal Prosa, Penyair Terkutuk.

Semoga di buku kumpulan cerita selanjutnya kita bisa menikmati cerita-cerita Linda christanty yang lain.

Adikku Yang Nakal








Penulis: Dorothy Edwards
Penerbit: Gramedia Jakarta
Alih bahasa: Listiana
ilustrasi: Shirley Hughes
Cetakan kedua: Januari 1984
Halaman: 92
Berat Buku: 110.00 (gram)
Dimensi(LxP): 20 x 13

My noughty little sister, adalah sebuah buku cerita anak-anak yang ditulis oleh seorang penulis buku anak asal Inggris, Dorothy Edwards (6 November 1914 – 1982), aku menemukan buku ini secara tidak sengaja di gudang, setelah aku selamatkan ke tempat yang aman dan aku baca, ternyata ceritanya asyik juga, bercerita mengenai seorang adik yang luar biasa nakal, menggemaskan, cerdas dan aktif. Setelah aku browsing di internet barulah aku tahu kalau Di Indonesia ada tiga judul buku atau edisi yaitu "Adikku Yang Nakal", "Teman-teman Adikku Yang Nakal", dan "Adikku Yang Nakal dan Harry Bengal."

Sebuah buku anak yang lezat, ada yang mau baca? Daku tulis chapter pertamanya ya .. bagian satu, 

 
MENANGKAP IKAN
 
Pada suatu hari, waktu aku masih kecil, dan adikku masih kecil sekali,beberapa temanku datang ke rumah. Mereka bertanya kepada Ibu, apakah aku boleh ikut menangkap ikan bersama mereka.

Mereka membawa botol selai yang diikat dengan tali, dan jaring penangkap ikan, dan roti dan limun.

Ibu menjawab "Ya" -aku boleh ikut mereka . Ibu mengambilkan botol selai dan jaring penangkap ikan dan roti untukku.

Adikku yang nakal bekata, "Aku mau ikut! Aku mau ikut!" Dia merengek terus, sehingga ibu akhirnya mengajaknya.

Ibu lalu mengambilkan roti untuk adikku. Taoi adikku tidak di beri botol selai, karena kata ibu ia masih terlalu kecil dan belum boleh bermain dekat sungai. Ibu memberi adikku sebuah keranjang kecil karena dia senang mengumpulkan batu. Dan ibu memberiku sebotol besar limun, untuk kami berdua.

Ibu berkata, "Jaga adikmu baik-baik. Tidak boleh dia bermain-main dekat sungai."

"Baik bu, aku berjanji," jawabku.

Kami berangkat menuju sungai kecil. Di sana kami membuka sepatu dan kaus kaki, lalu turun ke sungai untuk menangkap ikan dengan jaring kami. Botol selai kami penuhi air. Botol itu untuk tempat ikan nanti, kalau kami sudah menangkapnya. Dan kami berkata kepada adikku yan nakal, "Kau tak boleh ikut. Nanti kau basah."

Lama sekali kami menjaring. Tapi tak seekor ikan pun berhasil kami tangkap. Seekor ikan kecil pun tidak. Tiba-tiba seorang temanku laki-laki berkata, "Lihat, adikmu ikut turun ke sungai!"

Tahukah kau, adikku yang nakal itu masuk ke sungai dengan masih memakai sepatu dan kaus kakinya dan dia mencoba menangkap ikan dengan keranjang kecilnya.

"Ayo naik," kataku, dan dia menjawab, "Tidak."

"Ayo cepat naik," kataku, dan dia menjawab, "Tidak mau."

"Kau sudah basah," kataku, dan dia berkata, "Biar." Nakal ya, dia?

Aku kemudian berkata, "Kalau begitu kau akan kuangkat." Adikku berusaha lari dalam air. Tapi dia terjatuh.

Roknya basah, celananya basah, sepatunya basah, kaus kakinya basah, rambutnya basah dan pita rambutnya juga-semuanya basah kuyup.

Adikku menangis menjerit-jerit.

Kami mengangkatnya dari sungai dan berkata . "Aduh, dia bisa masuk angin." Kami lalu membuka roknya yang basah, dan juga celananya, pita rambutnya, sepatunya dan kaus kakinya. Semuanya kami jemur di atas semak, agar kering. Sementara pakaiannya dijemur, adikku di pinjami kemeja temanku.

Adikku masih menangis terus.

Jadi kami memberinya limun dan limun itu ditumpahkannya di atas rumput.

Lalu salah seorang temanku memberinya jeruk dan temanku yang lain memberinya permen loli. Dan ketika adikku sedang asyik makan permennya, kami mengambil pakaiannya dari semak-semak dan membawanya berlari-lari, sampai kering. Ketika kami akan memakaikan pakaiannya lagi, adikku menjerit-jerit. Dia tidak mau! Tapi akhirnya kami berhasil juga memakaikan pakaiannya, lalu kami pulang.

Di rumah Ibu berkata, "Oh, adikmu jatuh ke sungai. kau kurang hati-hati menjaganya."

"Bagaimana ibu tahu? Kan pakaiannya sudah kami keringkan."

"Ah, ya. Tapi kalian tidak menyetrikanya." memang rok adikku kusut sekali.

Ibu berkata, sebagai hukuman, aku tidak akan mendapat puding, sehabis makan nanti. Dan adikku harus langsung tidur siang dan minum segelas susu panas.

Ibu berkata kepada adikku, "Nakal benar kau, masuk ke sungai."

Dan adikku yang nakal tidak menjawab, " Aku tak akan melakukannya lagi. Di sungai basah sekali."

Tapi, waktu ibu membuang batu-batu dari keranjang adikku, dia menemukan seekor ikan kecil di dasar keranjang. Adikku yang menangkapnya! []

Hahaa... bagaimana cerita adikku yang nakalnya? seru kan, Menurutku, sang adik tidak begitu nakal sih, ya kenakalan anak-anaklah, seperti mencuri arbei, menginjak-injak benih bunga yang baru tumbuh, membuat kue dari tanah liat, meneriaki anak-anak yang pulang sekolah dari balik pagar, memanjat pohon apel.. Namun, sang adik juga seorang yang setia kawan, senang berkawan dengan orang baru, senang bergaul, cerdas, senang membuat orang lain bahagia, bisa di baca di chapter 10, Adikku yang nakal merajut, chapter 12, Adikku yang nakal ke sekolah, dan di beberapa chapter lainnya.

Aku memang senang dengan buku-buku anak, selain buku-bukunya Dorothy Edwards, aku juga paling senang dengan cerita-cerita HC. Andersen!

Yaudah, kalau ada yang mau pinjam bukunya, silahkan saja, asal jangan lupa mengembalikan ya, beda lho, meminjam dengan meminta.. hihi.. pengalaman banget deh.. ^_^

salam

Sepi Adalah Pengantinku Yang Abadi

Sepi adalah
pengantinku yang abadi
ia memberiku
segenap nadi
untuk hidup
lebih lama
dalam tumpukan
kertas usang
kampung yang hening
daun yang gugur
di bibir
sepi adalah
kekasih yang setia
hingga tiada
segala benci
untuk di hirup
bersama secangkir kopi
ia adalah kawan
di lorong-lorong
tanpa ujung

bangunlah tembok
setinggi dan selebar
lorong itu
agar cacing tanah
tidak bisa masuk
agar akar rumput
tidak bisa hidup
disini sepi
tumbuh dengan lebat
seperti hujan
seperti air mata
seorang dewi

Aku ziarahi kerikil
remah roti
butir debu
tali rapia
kardus basah
belatung
ampas kopi
kutu busuk
peluh
kaki baja tukang beca
bangunlah tembok
jangan biarkan
kami masuk

Sepi adalah
pengantinku yang abadi
sepi adalah
cinta yang suci


cianjur in June 2010

Ramadhan Para Peri

kita puasa setiap hari nak, jangan takut
Ramadhan tidak akan menggigitmu
bukankah kita sudah terbiasa dengan lapar
dengan siang yang kering dan malam yang berhantu

Nak, Ramadhan akan membuat mereka terjaga
pada saat subuh hingga mentari berlabuh
mereka akan tahu bagaimana kita dulu menahan dahaga
bedanya, mereka memiliki jadwal untuk berbuka puasa
sedangkan kita tidak

Nak, mendekatlah pada ibu
datanglah jika engkau merasa sepi
tolong maafkan
apabila kaki ibu tidak sekuat Hajar
saat berlari mencari air tempo hari
tanah yang engkau pijak tidak dapat mengeluarkan zamzam
tenggorokanmu mungkin telah berdarah
seperti halnya perutmu yang membusung itu

Nak, maafkan ibu !
tidak bisa memberimu baju baru untuk kau kenakan pada hari raya
kain putih pucat itu pun orang lain yang beli
juga minyak wangi, kapas dan lainnya
ibu hanya bisa memetik beberapa tangkai krisan
untuk ditabur di ranjang kecilmu

Cianjur 2010

Selasa, 14 September 2010

Orang-Orang Stasiun



Khoer Jurzani

Suatu senja ketika sinar matahari jatuh hangatkan tubuh-tubuh ringkih yang tengah di landa nestapa, atau asmara? Jatuh cinta pada kerikil-kerikil dan semilir angin. Sayup-sayup terdengar seseorang bersenandung, laki-laki berambut gimbal, tanpa pakaian dan sandal. Kelihatannya sedang di rundung duka, tidak ada tarian India yang biasanya mengiringi ia bernyanyi.
            “Nyanyikan lagu yang bisa membuat aku senang Gimbal, bosan sekali setiap hari mendengarkan kau bernyanyi tak karuan,” seorang gadis pemulung bernama Suci berseru. Ia baru saja menjual hasil jerih payahnya pada seorang Bandar barang-barang bekas, saat ini ia ingin rehat, sambil di hibur oleh lagu-lagu yang riang.
            “Si Gimbal sedang sedih hatinya hari ini, kasihan, jangan kau ganggu dia sekarang,” seorang kakek yang senang duduk-duduk di atas rel seraya menghitung batu-batu kecil berkata.
            “Boleh minta kerikilnya satu kek? Buat mengisi radioku yang kehabisan baterai.” Tapi kakek itu telah kembali larut dengan kerikil-kerikil kesayangannya, menghitungnya, apakah kerikil-kerikil itu sudah cukup untuk membuat pondasi yang kuat guna membangun rumahnya kelak.
            “Neng, kamu punya uang buat beli baterai?” Kata Suci pada seorang teman di sampingnya. “Duitku habis buat beli rokok, kalau saja tiang listrik itu bisa aku jadikan sebatang rokok, barangkali aku bisa menghisapnya tanpa mesti mengeluarkan duit.”  Meskipun katanya rokok membuat kantongnya bolong, tapi begitu seorang pedagang asongan berjalan melintasi jalan kereta, Suci memanggilnya, membeli sebatang rokok kretek.
            “Kamu pedagang asongan yang kemarin kemalingan itu kan, kasihan betul, kok ada ya orang yang tega berbuat seperti itu, kepada sesama orang kecil,”  kata Suci, senyumnya mengembang, sementara sorot matanya menerawang, mengambang diantara bentangan kabel.
            Seekor burung gereja hinggap di atap stasiun, memunguti binar senja yang jatuh. Menempel di tembok dan lantai yang tak terawat. Daun-daun bersorak, warnanya kini berubah emas! Senja semerah saga, warnanya menyerpih kemana-mana.
            “Sudah pukul berapa sekarang? Kok kereta belum juga datang,” mang Jajang, seorang pria peminta-minta berkata.
            “Memangnya mau kemana mang naik kereta?” Tanya Suci.
            “Ke kampung menengok ibu, sudah sembilan tahun saya tidak pulang, saya ingin naik kereta menemui ibu.”
            “Kereta ke kampung tidak ada, adanya kereta menuju neraka,” jawab Suci. Hening sesaat, pedagang asongan duduk di atas rel, rasa letih telah membuatnya nyaris menyerah. Kemarin semua dagangannya ludes di curi orang, pada saat ia tertidur di mushala dekat pasar.
            Sudah hampir satu bulan ini pedagang asongan itu tidur di lantai mushola yang sedingin malam, karena ia tidak sanggup lagi membayar uang sewa kontrakan. Bersyukur, ia memperoleh kembali modal untuk berjualan dari pemilik toko. Saat ini ia hanya ingin ke surga menyusul ibunya yang telah lebih dulu berangkat kesana.
            “Aku ingin menyusul ibu ke surga naik kereta,” kata pedagang asongan.
            “Sudah kubilang, kereta ke surga, ke kampung, ke Hongkong sekarang tidak ada, adanya kereta menuju neraka,” tukas Suci.
            “Siapa bilang tidak ada, dulu aku pulang ke kampung dengan naik kereta, nanti aku mau kesana lagi, karena sekarang keluargaku pasti sedang menungguku di rumah, mereka pasti sedih kalau aku tidak pulang,” tutur mang Jajang.
            “Anak istriku juga menungguku di rumah, tapi aku belum selesai menghitung batu-batu ini, untuk kubawa sebagai oleh-oleh di kampung,” kata kakek si penghitung kerikil.
            “Hahahaahaa..” Suci tertawa tanpa ada alasan yang jelas.
            “Aku ingin ke surga naik kereta,” Ulang si pedagang asongan.
            “Aku ingin ke Hongkong naik kereta!” kata Suci.
            “Kalau aku, kalau aku ingin naik kereta karena belum sekalipun naik kereta, Suci, bagaimana rasanya naik kereta?” Neng yang sedari tadi bergeming suaranya mulai terdengar.
            “Bagaimana rasanya naik kereta, sama seperti ketika engkau naik kereta jenazah kelak, nyaman sekali, kau tidak perlu banyak menghabiskan tenaga buat sampai di tujuanmu, orang lainlah yang akan menjadi supirmu, yang harus kau lakukan hanyalah berbaring manis di balik selimut hangatmu,” ujar Suci.
            “Oh ya? Kalau begitu aku ingin segera naik kereta jenazah Suci,” ucap Neng.
            “Temanku si pengemis buta mati karena terjatuh dari atas gerbong kereta, “ sahut mang Jajang.
            “Dan sekarang berada di surga, hahahaha..” Timpal Suci.
            Stasiun remang, orang-orang stasiun serupa titik-titik kecil di atas sehampar tikar yang sebentar lagi di naungi cahaya bulan. Udara bertuba, hitam. Mereka menghirupnya pelan, dalam.
            “Siapa yang mau ikut aku ke surga! Siapa yang mau ikut aku ke surga!” Teriak Suci, kakek penghitung kerikil merasa ketenangannya terganggu di raihnya kerikil lalu di lemparkannya ke arah Suci, yang kini berjalan kea rah senja.
            “Diam Suci! Suaramu membuat kepalaku pusing!”
            “Apakah kereta dapat mengantarkanku ke tempat ibu? “ bisik pedagang asongan.
            “Naik kereta api tuttututtut.. “ si Gimbal bernyanyi dengan nyaring, Neng tertawa mendengarnya.
            Pedagang asongan beranjak dari tempatnya duduk, berjalan menuju pasar, ke arah keramaian yang membuatnya terasing. Orang-orang datang dan pergi, hidup dan berlari, namun ia masih disini, dengan batang-batang rokok dan debu.
            Pedagang asongan itu melintasi trotoar, menyeberang jalan, tepat ketika sebuah truk melaju ke arahnya.
            Klakson meraung. Orang-orang menjerit panik, si pedagang asongan terpaku, pikirannya masih melayang-layang di stasiun. Kemudian sunyi. Tubuhnya terbang, pun jiwanya, badan truk telah menyentuhnya, ia terpental, membentuh trotoar, mendarat disana. Seketika jalanan menjadi merah dan beraroma darah.
            Aku ingin ke surga naik kereta…
            Aku ingin ke surga naik kereta…

                                                                                                Cianjur 2010

Sedotan Bening

Ada sebutir hujan, jatuh di pekarangan. Putih, bersih. Meski pada awalnya ayah dan ibu tidak sudi melihat raut sebutir hujan yang basah, namun akhirnya hati mereka luluh saat mendengar tangis sebutir hujan yang kedinginan. Akan tetapi, sebutir hujan berwarna putih menyala saat ayah dan ibu hendak memungutnya.

Aku harap, ayah dan ibu dapat membujuk sebutir hujan agar mau masuk, dan rumahku yang gersang dapat sejuk. Ah, tidak ada yang dapat menenangkan sebutir hujan! bahkan aku sendiri kewalahan mengasuh sebutir hujan di pekarangan depan. Sampai suatu hari, hatiku tertambat pada sedotan bening, yang tengah berdiri menatapku di bawah pohon.

Sedotan itu tidak terlalu indah, biasa saja. Namun, warnanya yang bening dapat melunakan mata ayah dan ibu yang angkuh.



Aduhai! Ternyata bukan hanya mata ayah dan ibu yang terkesan pada sosok sedotan bening, Sebutir hujan pun patuh pada sedotan bening yang sederhana ! tidak lama kemudian, rumahku yang semula gersang akibat perang antara aku, ayah dan ibu akhirnya dapat sejuk kembali.

Terima kasih sedotan bening, terima kasih atas cinta yang tak sia-sia. Terima kasih telah berkenan menjadi ayah bagi sebutir hujan yang tidak mau diam, dan menjadi suami, bagi sekuntum bunga yang patah hati.


cianjur 2009

"Cerita mini ini aku tulis di sebuah lembah di kaki gunung putri, di tengah riuh suasana hati karena teman-teman Forum Lingkar Pena Cianjur yang tidak pernah berhenti memberi inspirasi. I love you all! "

Penunggang Ember Arang

sebuah cerita pendek dari Franz kafka, aku peroleh dari buku  terjemahan Bentang Pustaka, Metamorvosa dan cerita lainnya. Aku sertakan juga dalam versi bahasa inggris. Dan dalam judul aslinya,Kübelreiter, teman-teman bisa membacanya disini: http://users.skynet.be/lit/kafka.htm



Seluruh arang telah habis; embernya kosong; sekopnya tidak berguna saat ini; perapian menghembuskan hawa dingin; ruangan dibumbung oleh hawa membeku; pepohonan di luar kaku oleh embun beku; langit bagai perisai keperakan menolak siapa pun yang mengharapkan pertolongan dari sana. Aku harus mendapatkan arang; aku tidak mau membeku hingga ajalku; di belakangku ada perapian yang tidak mengenal kasihan, di hadapanku langit pun tidak mengenal kasihan, alhasil, aku harus berkendara dengan seluruh kecepatan di antara mereka, dan mencari pertolongan dari penjual arang di tengah. Bagaimanapun perasaannya telah menjadi tumpul terhadap permohonan-permohonanku; aku seharusnya membuktikan padanya dengan jelas bahwa aku tidak memiliki sebutir pun debu arang, dan bahwa ia menjadi sangat berarti untukku bagai matahari di cakrawala. Aku mesti datang seperti pengemis muncul di depan pintu dengan gemerincing kematian di tenggorokannya, dan mengakhiri hidupku disana, sehingga juru masak dalam rumah besar itu memutuskan untuk memberinya ampas dari poci kopi terakhir; demikian juga si penjual arang, marah, namun samara-samar tersentuh oleh perintah-Nya, “Janganlah kamu membunuh; melemparkan satu sekop penuh arang ke dalam emberku.

Cara pendekatanku harus menentukan persoalan, jadi aku berangkat dengan ember arangku. Sebagai seorang penunggang ember arang, dengan kedua tanganku pada pegangannya, kendali yang paling sederhana, aku mengemudikan diri dengan sedikit kesulitan saat menuruni tangga; namun begitu di bawah, emberku terangkat, gagah, gagah; unta-unta, membungkuk rendah di tanah, tidak mampu bangkit dengan lebih bangga, gemetar di bawah tongkat penunggangnya. Berangkatlah kami melewati jalanan yang licin karena es dengan derap yang mantap, sering aku terangkat setinggi tingkat pertama rumah-rumah; tidak pernah aku aku lebih rendah dari ketinggian pintu-pintu depan. Kemudian pada ketinggian yang luar biasa aku mengambang di luar gudang bawah tanah si penjual arang, tempat ia meringkuk jauh di bawah menekuri meja kecilnya, menulis; sehingga untuk mengurangi panas yang berlebihan dia membuka pintu.

“Penjual arang!” aku berteriak, dengan suara menggaung oleh hawa beku, diselimuti uap napasku "tolonglah penjual arang, beri aku sedikit arang; ember yang aku tunggangi ini kosong melompong saat ini. Berbaik hatilah. Aku akan membayarnya segera, aku bisa."

Si penjual arang meletakkan tangan pada telinganya. “Apakah benar yang aku dengar?” Ia bertanya sambil berpaling pada istrinya yang duduk menyulam di atas kursi menghadapi perapian. “Apakah benar yang aku dengar? Seorang pembeli!”

“Aku tidak mendengar sesuatu pun," kata istrinya sambil menarik napas dan menghembuskannya dengan tenang di atas jarum sulamnya, punggungnya terasa hangat menyenangkan.

“Tapi tentu saja.” Aku berteriak, “Ini aku seorang langganan lama, setia dan jujur; hanya saja baru kehabisan uang.”

“Istriku,” kata si penjual, “pasti ada seseorang; aku tidak bisa dikelabui sama sekali; ia pasti langganan lama, sangat lama yang menegur hatiku selama ini.”

“Ada apa gerangan denganmu?” Tanya istrinya, berhenti sebentar dan menekan sulamannya ke dada, “tidak ada siapa-siapa, jalanan sepi, semua pelanggan kita telah dipenuhi; kita dapat menutup toko untuk beberapa hari dan beristirahat.”

“Tapi aku duduk di sini di atas ember arangku,” aku berteriak bersamaan mataku berkaca-kaca tanpa merasakan dinginnya airmataku, “tolonglah, hanya melihat ke atas sini; kalian akan segera melihatku; aku mohon pada kalian satu sekop penuh arang; dan jika kalian memberi aku dua sekop, aku akan sangat berbahagia. Semua pembeli lain sudah dipenuhi bukan? Oh, jika saja aku dapat mendengarnya gemerincing ke dalam emberku saat ini!”

“Aku datang,” kata si penjual dan pergilah ia dengan kakinya yang pendek menaiki tangga gudang bawah tanah, tetapi istrinya sudah berada di sampingnya, menahan dengan tangannya dan berkata: “Kamu diam saja di sini, jika kamu sangat keras kepala, aku akan pergi melongoknya ke atas. Ingat buruknya serangan batukmu yang tiba-tiba datang semalam. Tapi demi urusan kecil, walaupun hanya sebuah khayalan, kamu segera melupakan istri dan anakmu dan mengorbankan paru-parumu. “Aku akan pergi.” “Kalau begitu yakinkan dia akan semua jenis persediaan yang kita miliki. Aku akan menyebutkan harganya nanti.” “Baiklah,: kata istrinya, dan naik ke atas jalan. Tentu saja ia melihatku seketika itu juga.

“Nyonya penjual arang," aku berteriak, “hambamu yang rendah ini; hanya satu sekop penuh arang; langsung ke dalam ember ini; aku akan membawanya pulang sendiri; satu sekop penuh yang paling buruk mutunya; aku akan membayarmu penuh, tentu saja, tetapi tidak saat ini, tidak saat ini.” Batapa kata-kata “tidak sata ini” tersebut  berbunyi seperti sebuah lonceng. Dan betapa membingungkannya kata-kata itu bercampur dengan suara lonceng-lonceng senja dari menara gereja di dekat sini!

“Apa yang dia inginkan sebenarnya?” panggil si penjual.

“Tidak ada," istrinya berseru kembali, “tidak ada apa-apa disini; aku tidak melihat apa pun; hanya lonceng berdentang enam kali dan ini adalah waktunya untuk tutup. Dinginnya amat mengerikan; besok mungkin saja kita harus bekerja lebih banyak.”

Dia tidak melihat apa pun dan tidak mendengar apa pun; walau begitu dia melepaskan celemeknya dan dengan celemeknya itu, ia mencoba mengebaskan aku menjauh. Aduh, ia berhasil. Seluruh kebaikan dari sebuah tunggangan bagus dimiliki ember arangku, tapi kurang daya tahannya; sangat ringan; hingga celemek seorang wanita menyapu kakinya dari bawahnya.

“Kamu perempuan jahat,: aku berteriak selagi aku enyah, sementara dia, sambil berbalik kembali ke toko, melambaikan satu tangannya di udara, setengah jijik, setengah puas. “Kamu perempuan jahat! Aku minta satu sekop penuh arang dengan mutu paling buruk, tetapi kamu tidak memberi.” Dan serta merta aku mendaki ke celah-celah sungai es lalu menghilang untuk selamanya. 

                                                                                 The Bucket Rider


Coal all spent; the bucket empty; the shovel useless; the stove breathing out cold; the room freezing; the leaves outside the window rigid, covered with rime; the sky a silver shield against anyone who looks for help from it. I must have coal; I cannot freeze to death; behind me is the pitiless stove, before me the pitiless sky, so I must ride out between them and on my journey and seek aid from the coal dealer. But he has already grown deaf to ordinary appeals; I must prove irrefutably to him that I have not a single grain of coal left, and that he means to me the very sun in the firmament I must approach like a beggar, who, with the death rattle already in his throat insists on dying on the doorstep, and to whom the grand people's cook accordingly decides to give the dregs of the coffeepot; just so must the coal dealer, filled with rage, but acknowledging the command, "Thou shalt not kill," fling a shovelful of coal into my bucket.

My mode of arrival must decide the matter; so I ride off on the bucket. Seated on the bucket my hands on the handle, the simplest kind of bridle, I propel myself with difficulty down the stairs; but once down below my bucket ascends superbly, superbly; camels humbly squatting on the ground do not rise with more dignity, shaking themselves under the sticks of their drivers. Through the hard frozen streets we go at a regular canter; often I am upraised as high as the first story of a house; never do I sink as low as the house doors. And at last I float at an extraordinary height above the vaulted cellar of the dealer, whom I see far below crouching over his table, where he is writing; he has opened the door to let out the excessive heat.

"Coal dealer!" I cry in a voice burned hollow by the frost and muffled in the cloud made by my breath, "please, coal dealer, give me a little coal. My bucket is so light that I can ride on it. Be kind. When I can I'll pay you."

The dealer puts his hand to his ear. "Do I hear rightly?" he throws the question over his shoulder to his wife. "Do I hear rightly? A customer."

"I hear nothing," says his wife, breathing in and out peacefully while she knits on, her back pleasantly warmed by the heat.

"Oh, yes, you must hear," I cry. It's me; an old customer; faithful and true; only without means at the moment."

"Wife," says the dealer, "it's someone, it must be; my ears can't have deceived me so much as that; it must be an old, a very old customer, that can move me so deeply."

"What ails you, man?" says his wife, ceasing from her work for a moment and pressing her knitting to her bosom. "It's nobody, the street is empty, all our customers are provided for; we could close down the shop for several days and take a rest."

"But I'm sitting up here on the bucket" I cry, and unfeeling frozen tears dim my eyes, "please look up here, just once; you'll see me directly; I beg you, just a shovelful; and if you give me more it'll make me so happy that I won't know what to do. All the other customers are provided for. Oh, if I could only hear the coal clattering into the bucket!"

"I'm coming," says the coal dealer, and on his short legs he makes to climb the steps of the cellar, but his wife is already beside him holds him back by the arm and says: "You stay here; seeing you persist in your fancies I'll go myself. Think of the bad fit of coughing you had during the night But for a piece of business, even if it's one you've only fancied in your head you're prepared to forget your wife and child and sacrifice your lungs. I'll go."

"Then be sure to tell him all the Kinds of coal we have in stock; I'll shout out the prices after you."

"Right," says his wife, climbing up to the street. Naturally she sees me at once. "Frau Coal dealer," I cry, "my humblest greetings; just one shovelful of coal; here in my bucket; I'll carry it home myself. One shovelful of the worst you have. I'll pay you in full for it, of course, but not just now, not just now." What a knell-like sound the words "not just now" have, and how bewilderingly they mingle with the evening chimes that fall from the church steeple near by!

"Well what does he want?" shouts the dealer. "Nothing," his wife shouts back, "there's nothing here; I see nothing, I hear nothing; only six striking, and now we meet shut up the shop. The cold is terrible; tomorrow we'll likely have lots to do again."

She sees nothing and hears nothing; but all the same she loosens her apron strings and waves her apron to waft me away. She succeeds, unluckily. My bucket has all the virtues of a good steed except powers of resistance, which it has not; it is too light; a woman's apron can make it fly through the air.

"You bad woman!" I shout back, while she, turning into the shop, half contemptuous, half reassured, nourishes her fist in the air. "You bad woman! I begged you for a shovelful of the worst coal and you would not give it me." And with that I ascend into the regions of the ice mountains and am lost for ever.