Rabu, 08 Januari 2014

Kereta: Kendaraan Paling Religius



Naik kereta api tuut, tuut, tuut, siapa hendak turut..

Kereta api Sukabumi-Bogor sudah mulai beroperasi kembali pada akhir tahun 2013. Setelah sempat mati suri, menyebabkan saya harus naik kendaraan coolt mini yang tidak seromantis dan sepuitis naik kereta jika akan pergi ke kampung halaman di Bogor. Ingatan saya tentang kereta bangkit. Saya mulai mencari tahu, berapa jenis kereta yang saya kenal dalam hidup saya? Kereta api, kereta kuda, kereta bayi, kereta malam, kereta pagi atau kereta jenazah? Saya tidak tahu apakah ketika masih bayi saya pernah menggunakan kereta bayi atau tidak, sebagaimana bayi-bayi yang terlahir di kampung nun jauh di kaki gunung salak barangkali saya hanya merasakan naik ayunan yang terbuat dari kain batik panjang, atau dalam bahasa sunda disebut kain kebat. Istilahnya di ais, satu kata tiga huruf yang jika di bolak-balik akan menjadi kata yang memiliki makna sendiri, asi, isa, sai, sia.

Kereta pagi adalah judul puisi yang saya tulis dalam perjalanan ke Bandung, saya masih ingat, empat atau lima tahun lalu naik kereta api dari Cianjur ke Stasiun Ciroyom-Bandung tiketnya hanya seribu lima ratus rupiah, bandingkan dengan naik bus sekarang yang bisa mencapai 20 ribu sampai ke Bandung dari Cianjur.

Kereta Pagi merupakan  judul puisi yang ada di buku kumpulan puisi saya, Anak-Anak lampu. Belakangan saya sering mendengar orang-orang melantunkan lagu dangdut dengan judul yang hampir sama dengan judul puisi yang saya tulis, Kereta Malam. Belakangan saya tahu istilah kereta di Indonesia memiliki makna berbeda dengan di Malaysia. Di sana kereta adalah sebutan untuk kendaraan roda empat seperti mobil.
               
Kereta merupakan kendaraan yang saya anggap memiliki nilai spiritual paling kental, paling religius, bila dibandingkan bus kota atau angkutan umum yang tidak memiliki gerbong. Gerbong dalam rangkaian kereta api saya analogikan bagian tubuh manusia yang disatukan oleh rantai kehidupan, patuh mengikuti gerbong utama yang dikemudikan sang masinis. Kemana pun pergi selalu bersama-sama agar tidak ketinggalan untuk tiba di tempat tujuan, sebuah stasiun keberangkatan atau bisa juga stasiun persinggahan. Sitok Srengenge menulis:  andai akulah gerbong itu, akan kubawa kau dalam seluruh perjalananku.

Kereta merupakan kendaraan yang akan menjemput dan mengantarkan kita pada kehidupan yang baru. Masih ingat kereta yang digunakan Harry Potter dan kawan-kawannya yang bisa menembus tembok lalu terbang di atas awan menuju sebuah kastil tempat mereka akan belajar? Kereta, terutama kereta api bisa juga menjadi indikasi sejauh mana suatu Negara telah mencapai tingkat perkembangan dalam transportasi. Di Jepang dan Eropa misalnya, kereta api monorel, kereta api super cepat dan kereta api bawah tanah sudah menjadi transportasi massal anti macet dan anti lelet.
               
Alasan utama saya mengatakan bahwa kereta merupakan kendaraan yang paling religius, sebab hanya kereta, dalam hal ini kereta jenazah yang keberadaannya selalu saya lihat di masjid atau mushola di tiap kecamatan dan desa. Bahkan di masjid tempat biasa saya shalat jumat, tempat penyimpanan kereta jenazah itu berada di dalam masjid, di letakkan di bagian atas lantai, hampir menyentuh atap. Di bawah kereta jenazah itulah saya paling senang duduk sambil mendengarkan khotbah jumat, sebab orang lain jarang ada yang mau duduk di bawah kereta jenazah. Kereta jenazah yang terbuat dari rangkaian besi, sepertinya akan membuat tulang-tulang di tubuh saya patah dan remuk apabila suatu ketika kereta jenazah tiba-tiba jatuh menimpa saya yang sedang shalat jumat di bawahnya.
              
Masinis, juru kemudi kereta, sering diibaratkan sebagai imam dalam shalat berjamaah. Guru mengaji saya pernah mengatakan,bahwa orang-orang shaleh, para sahabat akan mengisi gerbong utama bersama sosok yang mereka cinta kelak di akhirat. Dalam dunia sastra banyak juga yang menjadikan kereta sebagai inspirasi menulis sajak. Seperti Chairil Anwar yang menuliskan kereta bak jerit lengking kedukaan . Atau Wan Anwar, yang menulis: jika timur itu hari depan, mengapa laju kereta kembali ke masa silam ( Pertanyaan di stasiun kereta) 
               
Kereta merupakan kenangan, masa kini dan  harapan. Rumah saya berada di pinggir rel kereta api. Subuh hari, ketika saya masih kanak dan saudara-saudara saya masih lajang dan nenek dan ibu saya di kampung masih kuat berjalan, merupakan saat paling istimewa bagi kami berjalan menyusuri remang lampu jalan dan gulita rel malam menuju stasiun keberangkatan. Pada masa itu, rumah nenek dijadikan transit untuk pergi ke stasiun. Keberangkatan di dalam laju kereta pagi menuju kampung halaman di kaki gunung terasa menyenangkan dan tanpa hambatan.


-di tulis di Ruangan UKM Masyarakat Kampus Cinta Seni Al-Azhary (MASKA CS)
2014