Rabu, 08 Januari 2014

Kereta: Kendaraan Paling Religius



Naik kereta api tuut, tuut, tuut, siapa hendak turut..

Kereta api Sukabumi-Bogor sudah mulai beroperasi kembali pada akhir tahun 2013. Setelah sempat mati suri, menyebabkan saya harus naik kendaraan coolt mini yang tidak seromantis dan sepuitis naik kereta jika akan pergi ke kampung halaman di Bogor. Ingatan saya tentang kereta bangkit. Saya mulai mencari tahu, berapa jenis kereta yang saya kenal dalam hidup saya? Kereta api, kereta kuda, kereta bayi, kereta malam, kereta pagi atau kereta jenazah? Saya tidak tahu apakah ketika masih bayi saya pernah menggunakan kereta bayi atau tidak, sebagaimana bayi-bayi yang terlahir di kampung nun jauh di kaki gunung salak barangkali saya hanya merasakan naik ayunan yang terbuat dari kain batik panjang, atau dalam bahasa sunda disebut kain kebat. Istilahnya di ais, satu kata tiga huruf yang jika di bolak-balik akan menjadi kata yang memiliki makna sendiri, asi, isa, sai, sia.

Kereta pagi adalah judul puisi yang saya tulis dalam perjalanan ke Bandung, saya masih ingat, empat atau lima tahun lalu naik kereta api dari Cianjur ke Stasiun Ciroyom-Bandung tiketnya hanya seribu lima ratus rupiah, bandingkan dengan naik bus sekarang yang bisa mencapai 20 ribu sampai ke Bandung dari Cianjur.

Kereta Pagi merupakan  judul puisi yang ada di buku kumpulan puisi saya, Anak-Anak lampu. Belakangan saya sering mendengar orang-orang melantunkan lagu dangdut dengan judul yang hampir sama dengan judul puisi yang saya tulis, Kereta Malam. Belakangan saya tahu istilah kereta di Indonesia memiliki makna berbeda dengan di Malaysia. Di sana kereta adalah sebutan untuk kendaraan roda empat seperti mobil.
               
Kereta merupakan kendaraan yang saya anggap memiliki nilai spiritual paling kental, paling religius, bila dibandingkan bus kota atau angkutan umum yang tidak memiliki gerbong. Gerbong dalam rangkaian kereta api saya analogikan bagian tubuh manusia yang disatukan oleh rantai kehidupan, patuh mengikuti gerbong utama yang dikemudikan sang masinis. Kemana pun pergi selalu bersama-sama agar tidak ketinggalan untuk tiba di tempat tujuan, sebuah stasiun keberangkatan atau bisa juga stasiun persinggahan. Sitok Srengenge menulis:  andai akulah gerbong itu, akan kubawa kau dalam seluruh perjalananku.

Kereta merupakan kendaraan yang akan menjemput dan mengantarkan kita pada kehidupan yang baru. Masih ingat kereta yang digunakan Harry Potter dan kawan-kawannya yang bisa menembus tembok lalu terbang di atas awan menuju sebuah kastil tempat mereka akan belajar? Kereta, terutama kereta api bisa juga menjadi indikasi sejauh mana suatu Negara telah mencapai tingkat perkembangan dalam transportasi. Di Jepang dan Eropa misalnya, kereta api monorel, kereta api super cepat dan kereta api bawah tanah sudah menjadi transportasi massal anti macet dan anti lelet.
               
Alasan utama saya mengatakan bahwa kereta merupakan kendaraan yang paling religius, sebab hanya kereta, dalam hal ini kereta jenazah yang keberadaannya selalu saya lihat di masjid atau mushola di tiap kecamatan dan desa. Bahkan di masjid tempat biasa saya shalat jumat, tempat penyimpanan kereta jenazah itu berada di dalam masjid, di letakkan di bagian atas lantai, hampir menyentuh atap. Di bawah kereta jenazah itulah saya paling senang duduk sambil mendengarkan khotbah jumat, sebab orang lain jarang ada yang mau duduk di bawah kereta jenazah. Kereta jenazah yang terbuat dari rangkaian besi, sepertinya akan membuat tulang-tulang di tubuh saya patah dan remuk apabila suatu ketika kereta jenazah tiba-tiba jatuh menimpa saya yang sedang shalat jumat di bawahnya.
              
Masinis, juru kemudi kereta, sering diibaratkan sebagai imam dalam shalat berjamaah. Guru mengaji saya pernah mengatakan,bahwa orang-orang shaleh, para sahabat akan mengisi gerbong utama bersama sosok yang mereka cinta kelak di akhirat. Dalam dunia sastra banyak juga yang menjadikan kereta sebagai inspirasi menulis sajak. Seperti Chairil Anwar yang menuliskan kereta bak jerit lengking kedukaan . Atau Wan Anwar, yang menulis: jika timur itu hari depan, mengapa laju kereta kembali ke masa silam ( Pertanyaan di stasiun kereta) 
               
Kereta merupakan kenangan, masa kini dan  harapan. Rumah saya berada di pinggir rel kereta api. Subuh hari, ketika saya masih kanak dan saudara-saudara saya masih lajang dan nenek dan ibu saya di kampung masih kuat berjalan, merupakan saat paling istimewa bagi kami berjalan menyusuri remang lampu jalan dan gulita rel malam menuju stasiun keberangkatan. Pada masa itu, rumah nenek dijadikan transit untuk pergi ke stasiun. Keberangkatan di dalam laju kereta pagi menuju kampung halaman di kaki gunung terasa menyenangkan dan tanpa hambatan.


-di tulis di Ruangan UKM Masyarakat Kampus Cinta Seni Al-Azhary (MASKA CS)
2014

Rabu, 11 Desember 2013

Puisi Sapu Lidi dan sebuah Catatan Apresiasi

Kemarin pagi saya terjaga dengan tenggorokan yang sakit sekali, bukan minum obat atau apa, saya malah menulis puisi di ponsel yang langsung terhubung dengan FB. Tiga jam yang lalu, puisi yang saya tulis di status FB itu memperoleh apresiasi dari Kawan saya, saudara Moh. Ghufron Cholid berupa catatan tentang puisi sapu lidi. Bagus buat pembelajaran esai apresiasi puisi di sekolah.

Sapu Lidi

serba kurus
hai diriku yang
terikat waktu
serba berdebu
bumi kotor
di jari-jariku,
jari-jari panjang
kami

hanya ini
kesetiaan si kurus
pada sepi
dan sampah biru
hanya pohon sagu
yang tahu
kapan diriku
kembali ke haribaan

tapi kami hanya
bagian kecil
dari komedi yang
dipertunjukan
saban hari
rumah sudah jadi
milik si batang besi
yang kami punya,
yang diriku miliki
hanya sampah biru
yang kata mereka
tidak berguna

diriku marah pada
ibunda..

Ibunda menjual rumah,
tanah, dan santap pagi
kami..

2013


BELAJAR MEMBACA GETIR NASIB PADA SAPU LIDI 

(Sebuah Apresiasi Atas Puisi Sapu Lidi Khoer Jurzani) 

Oleh Moh. Ghufron Cholid 

Sebuah ironi yang coba disampaikan lewat puisi, sebuah pemberontakan yang coba disisipkan dalam sapu lidi. 

Sapu lidi adalah potret kehidupan yang tak pernah lepas dari yang namanya sampah, begitu dekat, begitu karib. Sapu lidi ditiupkan ruh personifikasi, seolah begitu hidup, begitu degup yang jika disenyawakan bisa dimaknai masyarakat berstatus di bawah garis kemiskinan. Masyarakat yang hidupnya serba susah, yang dalam detiknya dihantui resah. Masyarakat yang juga bagian dari anak bangsa, masyarakat yang juga memiliki hak tertawa dan hidup layak. 

SAPU LIDI DAN HARAPAN YANG TERKUBUR 

Sapu lidi begitulah  Khoer Jurzani menamai puisinya, puisi yang ia percaya untuk mewakili risalah hatinya dan risalah hati kaumnya, risalah hati yang selalu ingin ikut merasakan kebahagiaan yang layak disandang bagi masyarakat yang memiliki negara dengan kekayaan alam yang serba melimpah. Sapu lidi, ia sadari sebagai sesuatu yang begitu kecil, begitu tak berdaya dan begitu mengenal nasib dan pengabdiaannya. Sebagai sapu, ia begitu paham tentang hidup yang penuh getir yang kerap menyapa, sebagai sapu ia tak pernah bisa berkelit dan menghindar dari sampah. Sebagai sapu, terus saja tak bisa tinggal diam untuk terus membersihkan sampah betapapun luka harus selalu ditanggung sebab membersihkan sampah adalah hal paling menyenangkan. Sebagai sapu lidi yang begitu sadar akan kurus yang disandang, ia tak mau tegak sendiri, ia selalu hidup bersama bersatu padu. Persatuan adalah bekal keberhasilan begitulah sapu lidi hendak mengajarkan hidup. 

SAPU LIDI YANG MENGGUGAT LEWAT KESATU PADUAN YANG DIBANGUN 

Hidup adalah salah satu cara menyusun kekuatan lewat persatuan, lewat tolong menolong, lewat gotong royong, begitulah sapu lidi dihadirkan untuk menyegarkan tentang ingatan yang mulai dilupakan. Walau sapu lidi begitu kurus sapu lidi tak pernah putus asa, sapu lidi terus berjuang membersihkan sampah. Ada yang semakin miris dan semakin mengiris, rumah-rumah sudah dimiliki oleh pagar besi, rumah-rumah sudah tak memerlukan sapu lidi, rumah-rumah sudah melupakan jasa sapu lidi. Sapu lidi betapapun semangat membina persatuan, betapapun besar pengabdian dalam membersihkan sampah, tetap hanya sapu lidi yang begitu kecil dan begitu mudah dilupakan. Sapu lidi terus menggugat nasibnya namun teriakannya serupa kapas diterbangkan angin. Sapu lidi hanya bisa tertunduk menyaksikan rumah-rumah yang dulu begitu akrab dengan kehidupan yang sapu lidi jalani, telah berubah menjadi rumah-rumah yang begitu asing. 

Sampang, 12 Desember 2013

Kamis, 05 Desember 2013

Poem For Nelson Mandela


Khoer Jurzani

Light's flames in your eyes
to: Nelson Mandela

i don't know if morning will be so quiet,
after we spent the bitter night,
it was not too quiet night

light's flames in your eyes,
doesn't enough to made my night glowing,
maybe it needs five or ten more lights,
so loneliness that stayed in every corner in my self
can be lessened

i want along the nights
we go around, talking about everything
or about your escape--it doesn't matter
u were wearing tattered shoes and faded jeans
then i'll shed
thickest yearning--it's like coffee's colour
that you've ordered from a Sir called night

but what for i know who your name
if i am going to lose in the end

2011




Selasa, 20 Agustus 2013

Buku Puisi Khoer Jurzani : Tidak Ada Lagi Emily


Michael Faraday bilang, Tiada yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Ketika salah satu Penerbit dari Malaysia menyetujui untuk menerbitkan naskah puisi saya, saya semakin percaya bahwa tidak ada satu hal pun di dunia yang sia-sia. 115 puisi yang saya tulis tahun 2009-2013 akhirnya bisa berkumpul dalam satu antologi. Puisi-puisi yang sempat saya bikin stensilan di tempat potocopyan, kemudian saya bagikan ke teman-teman saya, saya pajang ketika ada acara bedah novel, senang sekali ketika ada seorang pembeli yang menyodorkan uang lima ribu untuk membeli puisi yang saya cetak potocopy itu. Bukan nilai nominal yang saya kejar. Ketika buku puisi saya yang pertama, Senter Adam Kaisinan terbit, saya lebih senang memberikan buku tersebut kepada seorang anak Paket B atau setara SMP yang memiliki minat membaca tapi tidak memiliki akses untuk sekadar membeli buku, saya merasakan sendiri dulu betapa sulitnya memperoleh bahan bacaan. Saya juga senang membeli buku, bukan untuk saya baca sendiri, tapi untuk saya berikan dan pinjamkan kepada anak-anak didik saya di sekolah. Saya percaya jika satu kebaikan ditebar akan tumbuh beribu kebaikan. Maka ketika bulan Mei 2013 buku puisi saya yang kedua, berisi 60 puisi, pun diterbitkan oleh Komunitas Malaikat Bandung. Masih ada puisi-puisi yang saya tulis, sekitar 115 lebih puisi. Alhamdulilah puisi-puisi itu tidak terbengkalai. Puisi-puisi akan terus hidup. Meski kelak saya akan redup. Buku puisi Tidak Ada Lagi Emily bisa dipesan secara online. Akan hadir bulan September. Terimakasih kepada Kang M Romyan Fauzan atas photo yang di ambil di Sanghyang Ratu - Jambi. Dan kepada semua kawan yang selalu memberikan dukungan buat saya. Terimakasih

Jumat, 10 Mei 2013

Buku Kumpulan Puisi Anak-anak Lampu




Judul: Anak-anak Lampu
Penulis: Khoer Jurzani
Penerbit: Komunitas Malaikat Bandung
Tebal: 83 Hal. : 14x21 cm
ISBN: 978-602-18401-1-5
Harga: Rp. 35.000 (belum termasuk ongkos kirim bagi pemesan dari luar kota Cianjur dan Sukabumi)
Pesan via inbok atau no ponsel Khoer Jurzani: 08572 3333 590


Saya ingin mempersembahkan puisi-puisi dalam buku ini untuk anak-anak yang berada di dalam kamar sendiri seraya mendekap dada yang sesak. Anak-anak yang tidak dapat merasakan bagaimana rasanya hidup di dalam keluarga normal, tidak bisa belajar di sekolah formal, kesepian saat sendiri dan terasing dalam keramaian. Anak-anak yang hanya terlihat di bawah cahaya lampu yang demikian remang dan kembali tidak terlihat begitu beranjak menuju tempat gelap.
               
Khoer jurzani, laki-laki kelahiran Bogor 22 maret 1987, yang dibesarkan di Sukabumi, kemudian tahun 2011 memperoleh beasiswa untuk kuliah di STAI Al-azhary Cianjur, mengambil jurusan Tarbiyah,  kuliah merupakan keinginan yang ia pendam selama kurang lebih lima tahun setelah ia lulus Paket C atau setara SMA. Kuliah,memiliki kumpulan buku puisi merupakan salah satu impian Khoer yang akhirnya tercapai.

Jika dalam buku kumpulan puisi Senter Adam Kaisinan Khoer banyak menulis puisi yang penuh dengan warna lokalitas sunda, mitologi, dongeng, dan hal-hal yang berbau mistis dan surealis, seperti sosok ibu hamil yang digambarkan seperti balon yang melendung, sayap, nyi pohaci, sumur bandung, dalam buku anak-anak lampu, khoer banyak bercerita mengenai hal-hal kecil dalam keseharian, seperti keluarga, dalam buku ini khoer beberapa kali menulis puisi untuk sang ibu, Khoer pun menulis tema cinta, rumput, hujan, bintang, pulang, dengan pengungkapan yang, seperti  di tulis Heru Joni Putra dalam pengantar, menggambarkan peristiwa lumrah dalam kehidupan sehari-hari dengan bahasa, antara yang sederhana dan yang tidak sederhana. 

Bisa dibilang, buku kumpulan puisi anak-anak lampu ini adalah penjelmaan dari buku kumpulan puisi Khoer yang terbit terbatas pada tahun 2012, senter adam kaisinan, ada 10 puisi yang pernah dimuat di buku senter adam kaisinan dari 60 puisi yang terdapat dalam buku anak-anak lampu. Ditulis dalam rentang waktu enam tahun dari 2007-2012.

Buku puisi anak-anak lampu bisa di pesan langsung ke Khoer Jurzani      



Rabu, 10 Oktober 2012

Laki-laki Yang dikutuk Menjadi Wortel




Aku adalah wortel orange di ladang papa. Menikmati warna langit yang indah dan berseru setiap kali burung pipit dengan sayap kusam dan kurang menarik terbang ke atas pohon nangka! Aku wortel orange yang berpura-pura bahagia dengan apa yang diberi papa, papa tahu segalanya, papa memberiku segalanya, tapi papa jauh sekali, kadang dekat juga, tapi papa tidak pernah menampakkan dirinya, sama sekali tidak, papa hanya mendengar, sesekali menghembuskan kasih sayang pada helai daun nangka kering kemudian jatuh di atas tubuhku.

Acapkali aku merindukan aroma dari cahaya matahari yang menempel dan terperangkap di kaos serta rambutmu. Acapkali ada perasaan sesak, lebih sering lengang.  Aku tidak kehilangan apa-apa, hanya kesepian yang berulangkali memakasaku untuk lelap, dan bisu. 


Aku merindukan dongeng kanak-kanak, aku ingin berteriak di muka pabrik, di muka bapak presiden yang tercinta, kadang jelaga jatuh ke pelupuk, dan aku tidak dapat melihat apa pun, dunia bagiku seperti warna abu pada hari paling lesu. Aku sendiri, maka aku ada.

Aku mulai ngawur ya, aku memang ngawur, aku menulis karena aku ngawur. Banyak warna di dunia yang harus segera aku sentuh, aku malah memilih sendiri. Jangan bilang bahwa aku pengecut. Aku hanya wortel orange yang dikutuk papa menjadi maya. Menjadi tiada. Bukankah asalnya aku tiada, lalu menjadi ada karena cinta dan napsu mami dan papi yang bersatu menjadi aku.

Aku merindukanmu. Aku merindukan sebatang lilin yang mencurahkan ilmu, atau imam s arifin, atau kamu. Aku sendiri, aku butuh kamu saat ini.  





Sabtu, 28 Juli 2012

Senter Adam Kaisinan : Kumpulan Puisi Pertama Khoer Jurzani

Judul: Senter Adam Kaisinan
Penulis: Khoer Jurzani
Penyunting: A Muttaqin
Penerbit: Buku Bianglala
Kota terbit: Gresik
Tahun terbit: Juli 2012
Tebal buku: 48 halaman
Harga: Rp. 25.000 + Ongkos kirim
ISBN: 978-602-9415-75-9

Endorsement:

Puisi-puisi Khoer adalah puisi yang berpendaran di tempat kelabu (Mardi Luhung, Guru dan Penyair)

Khoer adalah sosok yang mengingatkan pada sebuah ajaran kebijaksanaan China yang saya yakini, bahwa: “Di dunia ini tidak ada hal yang sulit, kecuali kekhawatiran pada ketekunan hati manusia.” Khoer meski hidup di dunia yang tak “terduga” tapi mampu menampilkan ketekunan hati itu.  Dan Khoer pun menunjukkan dengan puisinya, lalu membagi pada kita semua. (Hanna Fransisca, Penyair, Cerpenis, dan penulis lakon)

Senter Adam Kaisinan adalah antologi puisi tunggal pertama Khoer jurzani,  berisi 30 puisi hasil menyuling dari saripati kehidupan dan sebuah perjalanan panjang. Di dalamnya Khoer bercerita mengenai banyak hal. Mulai mitologi sampai  kehidupan sehari-hari. Dari kucing sampai cacing, dari biji sesawi sampai Nyi pohaci. Meski Khoer dibesarkan di daerah pinggiran perkotaan, tapi ia tidak bisa melepaskan sejarahnya, bahwa ia pernah menjadi anak kampung yang sehari-hari bermain dengan lumpur. Penyair Lutfi mardiansyah bilang dalam reviewnya yang berjudul Khoer jurzani dan Puisi Wangi Padi:

Khoer tetap menjadi anak kampung yang lebih doyan memanjat pohon, mandi di sungai, dan makan nasi liwet dengan lauk ikan asin dan sambal dan lalapan. Simak saja beberapa puisi di dalam buku Senter Adam Kaisinan ini, seperti Minyak Telon Ibu, Nyi Pohaci, Sumur Bandung, dll. Banyak sekali diksi-diksi yang berbau pedusunan, semisal daun singkong, bilik, lisung, karuhun, harendong, alu, ani-ani, lumbung padi, biji sesawi, dll. Sebuah puisinya berjudul Sumur Bandung, menangkap tradisi berpamitan setiap kali seseorang mendatangi tempat asing untuk kembali pulang agar tidak diganggu setan, jin, hantu dan sebagainya: Badagna, lembutna, abdi uwih.

Kumpulan puisi Senter Adam Kaisinan sangat kental dengan nuansa kesepian dan dongeng-dongeng yang memang sudah lama menjadi obsesi Khoer. Faisal Syahreza dalam esainya yang berjudul, Anak Lelaki dan Lemari Puisi, mengatakan Khoer memang sangat  terobsesi dengan sayap, malaikat, hantu-hantu.
Dalam puisi Adam Kaisinan, di bait awal Khoer cantumkan Mantra memandikan jenazah suka Baduy, Kenekes-Banten, diambil dari buku Kesusastraan sunda. BP 1948 Hal.36,

“Puhaci balak bahan jati ngaran lemah cai                                                                                  
Puhaci keliran jati ngaran sisi cai,
Puhaci inggulah jati ngaran batu
Puhaci tasik manik  ngaran keusik
Sang mukeyi ngaran cai,
Sang ratu kerepek mana ngaran nyawa cai
Bersih badan sampurna.”   

Adam Kaisinan ialah Mitologi dari suku baduy, di mana Adam yang merasa berkuasa atas dirinya serta tidak percaya akan zat yang menciptakannya berubah wujud jadi pegunungan Kendeng di Banten Kidul, berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Sementara ruh Adam kaisinan menjelma jadi raja ular batara nagaraja.Para ahli masih memperdebatkan apakah Adam kaisinan dalam mitologi Suku Baduy adalah Adam yang juga salah satu Nabi dalam Agama Syamawi.

Faisal syahreza dalam esainya, Anak Lelaki dan Lemari puisi menyebutkan:
Puisi khoer dibentuk dari alam bawah sadar yang sudah akut  ia kandung, di mana puisi-puisinya didominasi oleh memorial dan dunia khayal anak-anak yang sudah lama tercuri darinya. Tidak heran mengapa sesosok ibu selalu jadi tujuan pertama Khoer dalam menulis puisi. Alhasil, Khoer menuliskan peristiwa yang bersejarah dalam hidupnya, dengan tokoh ibu. Saya kutipkan puisinya berikut sebagai kecurigaan saya:

Ibu adalah baiduri, tempat pertama kali aku mengenal cinta. Suatu hari, kulihat baiduriku diamdiam menjatuhkan embun serupa pecahan beling di kedua danau pada wajahnya yang bening. Bapak pulang, membawaku pergi dari rumah di samping ladang singkong. Suara ibu terdengar samar, memanggilku untuk kembali. Tapi bapak malah menyuruhku memanggil perempuan lain dengan sebutan ibu. Padahal belum sekalipun ia melumuri tubuhku dengan minyak telon dan doadoa seperti yang dilakukan ibu padaku. 

Khoer lewat objek ‘minyak telon’ dalam puisi tersebut mencoba menaklukan rintangan yang berat bagi setiap orang, yakni : jarak dan samarnya sebuah nasib.

Pemilihan objek dalam puisi Khoer terkesan sederhana, apa adanya dan lancar begitu saja. Tiba-tiba misalnya ‘senter’ muncul sebagai komoditas untuk membicarakan mimpi dan kemuramannya sendiri. Keinginan Khoer untuk melacak identitas dirinya, memang tampak kuat dalam penggunaan benda-benda yang kerap muncul dalam puisi. Tali rapia, kardus basah, debu dan barang loak lainnya adalah menu biasa yang pernah digeluti dalam hidupnya.

Lutfi Mardiansyah, dalam reviewnya, Khoer jurzani dan Puisi Wangi Padi:
Secara keseluruhan, puisi-puisi di dalam buku ini seperti keripik singkong dengan bumbu rempah: renyah. Bahasanya mengalir, enak dibaca, dengan sisi estetik yang tetap terjaga. Keberagaman tema yang dihadirkan juga membikin buku ini jadi tambah lezat, seperti lotek, atau karedok. Khoer berhasil untuk tidak menjadi durjana, hanya menjadi Jurzani, ia menjadi satu dari sekian banyak manusia yang hidup di dalam lingkaran bernama kota, tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai seorang desa, seorang kampung, seorang dusun. Khoer cuma penyair yang ingin tetap setia kepada bunyi seruling, tak tertarik pada musik disko. Tapi ia sama sekali tidak kampungan, hanya karena ia berasal dari sebuah kampung.

Eka Budianta, penyair, anggota Dewan Pakar Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) mengatakan dalma endorsementnya:.

"Modal utama untuk menjadi penyair adalah keberanian dan ketulusan hati. Kedua hal ini sudah dimiliki oleh Khoer Jurzani, sehingga puisi-puisinya layak dibaca dan dihargai. Untuk beberapa hal, kita boleh merasa cemburu, karena ia berani mengatakan hal-hal yang sangat telak. Semoga keberanian dan ketulusan hatinya ini disempurnakan dengan niat baik dan semangat yang positif untuk memelihara dan memperindah kehidupan. Hal ini tidak hanya tergantung pada kemampuan penulisnya, tetapi juga respons yang positif dari para pembacanya. Selamat berkarya, selamat merenungkan sedalam apa cinta kita pada orangtua, seperti yang diisyaratkan oleh Khoer Jurzani."

Sebenarnya, siapa gerangan Khoer jurzani? Anda bisa mengetahuinya langsung setelah membaca buku ini.

Jika tertarik memiliki buku puisi Senter Adam Kaisinan, silakan pesan via SMS ke 085723333590 (Khoer Jurzani)  atau inbok Facebook dengan format: Nama, Alamat Lengkap, Judul Buku yg dipesan, Jumlah pembelian. Lalu nanti buku bianglala akan mengkonfirmasi ongkos kirim ke alamat teman-teman. Karena, seperti yang dibilang Khoer, buku ini masih tersedia secara online.

Salam.