Rabu, 11 Desember 2013

Puisi Sapu Lidi dan sebuah Catatan Apresiasi

Kemarin pagi saya terjaga dengan tenggorokan yang sakit sekali, bukan minum obat atau apa, saya malah menulis puisi di ponsel yang langsung terhubung dengan FB. Tiga jam yang lalu, puisi yang saya tulis di status FB itu memperoleh apresiasi dari Kawan saya, saudara Moh. Ghufron Cholid berupa catatan tentang puisi sapu lidi. Bagus buat pembelajaran esai apresiasi puisi di sekolah.

Sapu Lidi

serba kurus
hai diriku yang
terikat waktu
serba berdebu
bumi kotor
di jari-jariku,
jari-jari panjang
kami

hanya ini
kesetiaan si kurus
pada sepi
dan sampah biru
hanya pohon sagu
yang tahu
kapan diriku
kembali ke haribaan

tapi kami hanya
bagian kecil
dari komedi yang
dipertunjukan
saban hari
rumah sudah jadi
milik si batang besi
yang kami punya,
yang diriku miliki
hanya sampah biru
yang kata mereka
tidak berguna

diriku marah pada
ibunda..

Ibunda menjual rumah,
tanah, dan santap pagi
kami..

2013


BELAJAR MEMBACA GETIR NASIB PADA SAPU LIDI 

(Sebuah Apresiasi Atas Puisi Sapu Lidi Khoer Jurzani) 

Oleh Moh. Ghufron Cholid 

Sebuah ironi yang coba disampaikan lewat puisi, sebuah pemberontakan yang coba disisipkan dalam sapu lidi. 

Sapu lidi adalah potret kehidupan yang tak pernah lepas dari yang namanya sampah, begitu dekat, begitu karib. Sapu lidi ditiupkan ruh personifikasi, seolah begitu hidup, begitu degup yang jika disenyawakan bisa dimaknai masyarakat berstatus di bawah garis kemiskinan. Masyarakat yang hidupnya serba susah, yang dalam detiknya dihantui resah. Masyarakat yang juga bagian dari anak bangsa, masyarakat yang juga memiliki hak tertawa dan hidup layak. 

SAPU LIDI DAN HARAPAN YANG TERKUBUR 

Sapu lidi begitulah  Khoer Jurzani menamai puisinya, puisi yang ia percaya untuk mewakili risalah hatinya dan risalah hati kaumnya, risalah hati yang selalu ingin ikut merasakan kebahagiaan yang layak disandang bagi masyarakat yang memiliki negara dengan kekayaan alam yang serba melimpah. Sapu lidi, ia sadari sebagai sesuatu yang begitu kecil, begitu tak berdaya dan begitu mengenal nasib dan pengabdiaannya. Sebagai sapu, ia begitu paham tentang hidup yang penuh getir yang kerap menyapa, sebagai sapu ia tak pernah bisa berkelit dan menghindar dari sampah. Sebagai sapu, terus saja tak bisa tinggal diam untuk terus membersihkan sampah betapapun luka harus selalu ditanggung sebab membersihkan sampah adalah hal paling menyenangkan. Sebagai sapu lidi yang begitu sadar akan kurus yang disandang, ia tak mau tegak sendiri, ia selalu hidup bersama bersatu padu. Persatuan adalah bekal keberhasilan begitulah sapu lidi hendak mengajarkan hidup. 

SAPU LIDI YANG MENGGUGAT LEWAT KESATU PADUAN YANG DIBANGUN 

Hidup adalah salah satu cara menyusun kekuatan lewat persatuan, lewat tolong menolong, lewat gotong royong, begitulah sapu lidi dihadirkan untuk menyegarkan tentang ingatan yang mulai dilupakan. Walau sapu lidi begitu kurus sapu lidi tak pernah putus asa, sapu lidi terus berjuang membersihkan sampah. Ada yang semakin miris dan semakin mengiris, rumah-rumah sudah dimiliki oleh pagar besi, rumah-rumah sudah tak memerlukan sapu lidi, rumah-rumah sudah melupakan jasa sapu lidi. Sapu lidi betapapun semangat membina persatuan, betapapun besar pengabdian dalam membersihkan sampah, tetap hanya sapu lidi yang begitu kecil dan begitu mudah dilupakan. Sapu lidi terus menggugat nasibnya namun teriakannya serupa kapas diterbangkan angin. Sapu lidi hanya bisa tertunduk menyaksikan rumah-rumah yang dulu begitu akrab dengan kehidupan yang sapu lidi jalani, telah berubah menjadi rumah-rumah yang begitu asing. 

Sampang, 12 Desember 2013

0 komentar:

Posting Komentar