Selasa, 14 September 2010

Orang-Orang Stasiun



Khoer Jurzani

Suatu senja ketika sinar matahari jatuh hangatkan tubuh-tubuh ringkih yang tengah di landa nestapa, atau asmara? Jatuh cinta pada kerikil-kerikil dan semilir angin. Sayup-sayup terdengar seseorang bersenandung, laki-laki berambut gimbal, tanpa pakaian dan sandal. Kelihatannya sedang di rundung duka, tidak ada tarian India yang biasanya mengiringi ia bernyanyi.
            “Nyanyikan lagu yang bisa membuat aku senang Gimbal, bosan sekali setiap hari mendengarkan kau bernyanyi tak karuan,” seorang gadis pemulung bernama Suci berseru. Ia baru saja menjual hasil jerih payahnya pada seorang Bandar barang-barang bekas, saat ini ia ingin rehat, sambil di hibur oleh lagu-lagu yang riang.
            “Si Gimbal sedang sedih hatinya hari ini, kasihan, jangan kau ganggu dia sekarang,” seorang kakek yang senang duduk-duduk di atas rel seraya menghitung batu-batu kecil berkata.
            “Boleh minta kerikilnya satu kek? Buat mengisi radioku yang kehabisan baterai.” Tapi kakek itu telah kembali larut dengan kerikil-kerikil kesayangannya, menghitungnya, apakah kerikil-kerikil itu sudah cukup untuk membuat pondasi yang kuat guna membangun rumahnya kelak.
            “Neng, kamu punya uang buat beli baterai?” Kata Suci pada seorang teman di sampingnya. “Duitku habis buat beli rokok, kalau saja tiang listrik itu bisa aku jadikan sebatang rokok, barangkali aku bisa menghisapnya tanpa mesti mengeluarkan duit.”  Meskipun katanya rokok membuat kantongnya bolong, tapi begitu seorang pedagang asongan berjalan melintasi jalan kereta, Suci memanggilnya, membeli sebatang rokok kretek.
            “Kamu pedagang asongan yang kemarin kemalingan itu kan, kasihan betul, kok ada ya orang yang tega berbuat seperti itu, kepada sesama orang kecil,”  kata Suci, senyumnya mengembang, sementara sorot matanya menerawang, mengambang diantara bentangan kabel.
            Seekor burung gereja hinggap di atap stasiun, memunguti binar senja yang jatuh. Menempel di tembok dan lantai yang tak terawat. Daun-daun bersorak, warnanya kini berubah emas! Senja semerah saga, warnanya menyerpih kemana-mana.
            “Sudah pukul berapa sekarang? Kok kereta belum juga datang,” mang Jajang, seorang pria peminta-minta berkata.
            “Memangnya mau kemana mang naik kereta?” Tanya Suci.
            “Ke kampung menengok ibu, sudah sembilan tahun saya tidak pulang, saya ingin naik kereta menemui ibu.”
            “Kereta ke kampung tidak ada, adanya kereta menuju neraka,” jawab Suci. Hening sesaat, pedagang asongan duduk di atas rel, rasa letih telah membuatnya nyaris menyerah. Kemarin semua dagangannya ludes di curi orang, pada saat ia tertidur di mushala dekat pasar.
            Sudah hampir satu bulan ini pedagang asongan itu tidur di lantai mushola yang sedingin malam, karena ia tidak sanggup lagi membayar uang sewa kontrakan. Bersyukur, ia memperoleh kembali modal untuk berjualan dari pemilik toko. Saat ini ia hanya ingin ke surga menyusul ibunya yang telah lebih dulu berangkat kesana.
            “Aku ingin menyusul ibu ke surga naik kereta,” kata pedagang asongan.
            “Sudah kubilang, kereta ke surga, ke kampung, ke Hongkong sekarang tidak ada, adanya kereta menuju neraka,” tukas Suci.
            “Siapa bilang tidak ada, dulu aku pulang ke kampung dengan naik kereta, nanti aku mau kesana lagi, karena sekarang keluargaku pasti sedang menungguku di rumah, mereka pasti sedih kalau aku tidak pulang,” tutur mang Jajang.
            “Anak istriku juga menungguku di rumah, tapi aku belum selesai menghitung batu-batu ini, untuk kubawa sebagai oleh-oleh di kampung,” kata kakek si penghitung kerikil.
            “Hahahaahaa..” Suci tertawa tanpa ada alasan yang jelas.
            “Aku ingin ke surga naik kereta,” Ulang si pedagang asongan.
            “Aku ingin ke Hongkong naik kereta!” kata Suci.
            “Kalau aku, kalau aku ingin naik kereta karena belum sekalipun naik kereta, Suci, bagaimana rasanya naik kereta?” Neng yang sedari tadi bergeming suaranya mulai terdengar.
            “Bagaimana rasanya naik kereta, sama seperti ketika engkau naik kereta jenazah kelak, nyaman sekali, kau tidak perlu banyak menghabiskan tenaga buat sampai di tujuanmu, orang lainlah yang akan menjadi supirmu, yang harus kau lakukan hanyalah berbaring manis di balik selimut hangatmu,” ujar Suci.
            “Oh ya? Kalau begitu aku ingin segera naik kereta jenazah Suci,” ucap Neng.
            “Temanku si pengemis buta mati karena terjatuh dari atas gerbong kereta, “ sahut mang Jajang.
            “Dan sekarang berada di surga, hahahaha..” Timpal Suci.
            Stasiun remang, orang-orang stasiun serupa titik-titik kecil di atas sehampar tikar yang sebentar lagi di naungi cahaya bulan. Udara bertuba, hitam. Mereka menghirupnya pelan, dalam.
            “Siapa yang mau ikut aku ke surga! Siapa yang mau ikut aku ke surga!” Teriak Suci, kakek penghitung kerikil merasa ketenangannya terganggu di raihnya kerikil lalu di lemparkannya ke arah Suci, yang kini berjalan kea rah senja.
            “Diam Suci! Suaramu membuat kepalaku pusing!”
            “Apakah kereta dapat mengantarkanku ke tempat ibu? “ bisik pedagang asongan.
            “Naik kereta api tuttututtut.. “ si Gimbal bernyanyi dengan nyaring, Neng tertawa mendengarnya.
            Pedagang asongan beranjak dari tempatnya duduk, berjalan menuju pasar, ke arah keramaian yang membuatnya terasing. Orang-orang datang dan pergi, hidup dan berlari, namun ia masih disini, dengan batang-batang rokok dan debu.
            Pedagang asongan itu melintasi trotoar, menyeberang jalan, tepat ketika sebuah truk melaju ke arahnya.
            Klakson meraung. Orang-orang menjerit panik, si pedagang asongan terpaku, pikirannya masih melayang-layang di stasiun. Kemudian sunyi. Tubuhnya terbang, pun jiwanya, badan truk telah menyentuhnya, ia terpental, membentuh trotoar, mendarat disana. Seketika jalanan menjadi merah dan beraroma darah.
            Aku ingin ke surga naik kereta…
            Aku ingin ke surga naik kereta…

                                                                                                Cianjur 2010

2 komentar:

Unknown mengatakan...

blogmu saya follow ya Khoer :)
Muhalim Dijes

Khoer Jurzani mengatakan...

Iya, silahkan, makasih banget yaa.. :)

Posting Komentar