Jumat, 15 Oktober 2010

Buku Yang Memuat Cerpen Aku



Beberapa waktu kemarin sempat ikutan lomba nulis cerpen di Group Untuk Sahabat (UNSA) Alhamdulilah masuk 10 besar, judul cerpennya Sahabat Kaliandra, kini semua naskah yang masuk nominasi itu sudah bisa dinikmati dalam bentuk buku, inilah, sebuah kolaborasi antara senior (penulis profesional) dengan pemula seperti aku ini. 

Buat aku yang menulis hanya untuk senang-senang, curhat, terus setelah selesai nulis biasanya di kasih ke teman atau di simpan di note dan blog, tidak terbayangkan deh punya buku, sudah ada yang baca tulisanku pun aku sudah senang, meski pun di dalam hati memang pengen banget jadi penulis handal seperti Andrea Hirata atau Linda Christanty atau Seno Gumira Ajidarma hoho..

Meski akhir-akhir ini banyak kesempatan yang terlewatkan, seperti beberapa lomba menulis, proyek nulis dari FLP dan proyek pribadi pun sampai sekarang tidak pernah kelar!

Meski begitu, kemarin aku sudah coba kirim cerpen ke Horison, baik yang online dan cetaknya (Hehe nekat.com) terus ada undangan bikin puisi juga dari seorang penyair yang sudah malang melintang di dunia sastra nasional untuk di masukan dalam jurnal sastra yang akan terbit kemudian. 

Dewan Kesenian Cianjur pun sebentar lagi akan menerbitkan antologi cerpen bertemakan teroris, dua cerpenku ada di sana.

Belakangan ini waktuku terkuras oleh kerja, dari jam tujuh pagi sampai maghrib beres-beres di gudang, menjelang malam ke warnet, buat refreshing, nulis-nulis nggak jelas kayak gini hehe, tapi waktuku di luar dibatasi ampe jam sembilan malam, selepas itu, jangan harap bisa masuk ke gudang! Karena gudang akan di kunci dari dalam.

Sampai akhir bulan ini aku sedang ngerjain novelet, judulnya Tragedi Sepotong Hati, bisa di baca di note aku tiap malam.

Ya, setidaknya impianku untuk menyumbang buku ke perpustakaan umum kota bisa terlaksana ^^
Salam hangat 

Senin, 11 Oktober 2010

Tali Rafia Pita

Pita senang memunguti tali rapia yang berserakan di antara kerumunan lalat hijau yang merubungi tumpukan karung di sekitar rumahnya. Dengan kantong kresek berwarna merah, ia meraih satu-satu tali rapia yang terbaring di tanah, barangkali ia lelah, kata Pita, apakah ibu pun sama lelahnya dengan tali rapia? Sebab, setelah bapak memukul ibu dengan tinjunya malam itu, ibu selalu terbaring di lantai, tidak pernah bangun..

Pita memasukan tali rapia itu ke dalam kantong kresek, di dalam sana, tali rapia tadi berkumpul dengan warnawarni tali rapia yang Pita kumpulkan selama berhari-hari.

Pita menghabiskan waktunya seharian untuk mencari tali rapia. Rumahnya yang mungil sudah tidak kelihatan, terhalangi tumpukan karung yang menggunung. Pita tidak takut tersesat, meski aroma rumahnya tidak berbeda dengan aroma tumpukan karung yang biasa ia cium. Pita sudah hapal betul kemana ia harus berjalan untuk pulang.

Di bawah sebuah tiang Pita berdiri. Meraih tali rapia di dalam kantong kresek merahnya, membelah tali rapia menjadi dua bagian lalu mengikat rambutnya dengan tali rapia itu.

Tiang ini terlalu tinggi, aku terlalu pendek.. kata Pita, ia pun kembali ke rumahnya. Kakinya yang kecil melewati tubuh seorang perempuan yang teronggok di lantai, aku juga lelah ibu, kata Pita. Ia pun mengikatkan lehernya ke dalam tali rapia,
kursi yang ia gunakan untuk naik ke atas tiang penyangga jatuh. Tubuh Pita terayun lembut, lalu lemah.

cianjur 2010