Sabtu, 26 Maret 2011

Menulis Adalah Menangis




-sepucuk surat untuk adik.

:Rini Apriyani

Adik, tangis akan berhenti manakala pelupuk kita sudah tidak dapat keluarkan air mata, tapi jeritan  yang tergores di atas kertas tidak akan bisa reda.
Kakak hanya ingin merekonstruksi hari kemarin, karena kakak percaya apa yang kita alami saat ini tidak lepas dari insiden yang terjadi di masa lampau. Kakak hanya mencatat, semoga ada sedikit pelajaran  yang bisa kau ambil. Setelah dirimu membaca surat ini, kita masih tetap saudara, masih tetap satu keluarga.

  Jika menulis adalah tangis, rumah kita pasti sudah tenggelam karenanya.

   Kita beruntung memiliki bapak seorang pemulung, ya sebelum ia memiliki gudang penampungan sendiri seperti sekarang, karena profesi bapaklah, setiap hari ada saja bahan bacaan gratis untuk kita; majalah bekas, buku bekas. Sejak kecil kita sudah akrab dengan Si kuncung, Bobo, Si kembar O Sullivan, Garfield, Donal bebek. Sebab kita tidak memiliki banyak mainan seperti anak-anak lain, mainan kita adalah apa yang ada di dalam imaji kita, gambar-gambar berbicara, tulisan-tulisan mengajak kita menari.
                Ketika bapak mulai sibuk dengan pekerjaan dan ibu sering membentak serta menyembunyikan buku-buku bacaan, entah kenapa ibu tidak suka sekali melihatku membaca seharian, aku pun mulai menulis. Tulisan pertamaku adalah puisi, mengenai ibu tiri.
                Kakak tidak yakin apakah kakak bisa bertahan hidup sampai sekarang kalau Pak Cevi, Guru Madrasah Ibtidaiyah, tidak meminjami kakak novel dengan judul Dokter Widi, sebuah buku berlabel Milik Departeman P dan k, Tidak Di perjualbelikan itu adalah buku pertama yang membuat kakak menangis. Sejak saat itu Pak Cevi selalu meminjami kakak buku-buku cerita. Kakak masih ingat, waktu kelas enam MI, kakak mulai mencoba membuat cerita bersambung, yang tiap hari kakak bagikan ke teman-teman sekelas.
                Apakah kamu percaya, jika ada sebuah sekolah paling aneh di dunia, tidak ada guru, tidak ada murid, yang ada, rerumput kering dan bangunan kusam, seorang laki-laki kecil tiap hari berada di dalamnya, kesepian. Guru, murid, hanya berdatangan pada saat menjelang ujian. Tidak ada pelajaran. Tidak ada ilmu yang di dapatkan.
                Engkau beruntung bisa belajar di SMP negeri Dik, tidak berada di Madrasah Tsanawiyah di dasar jurang itu. Hingga untuk meyakinkan bapak dan ibu bahwa aku benar-benar berangkat ke sekolah, tiap hari aku pergi ke Perpustakaan Umum kota, sampai waktu, di mana sekolah lain usai dan murid-muridnya pulang.
                Di  Perpustakaan umum itulah kakak mengenal puisi-puisi Acep zamzam noor, cerpen Joni ariadinata, novel Dewi Lestari, Asma nadia, Hamka, Chairil anwar, bahkan Fredy siswanto! Waktu kelas Tiga Mts. Itu kakak menulis puisi, judulnya Khusnul Khotimah, yang tidak jadi kakak kirim ke Mading Masjid agung Kota Sukabumi karena Madingnya tidak pernah terbit lagi, lalu kakak simpan baik-baik di buku harian.
Khusnul Khotimah

Tertidur,
tidurlah ia
pulas mimpi ruh jiwa
selepas sembahyang malam
suci abadi

Ah, betapa nikmat
tubuh terbaring di surau kecil
tiada menghirau irama dunia

Selepas sembahyang malam ia
pulas mimpi ruh jiwa
suci abadi

Tergolek ia di sajadah lusuh
betapa nikmat
tiada menghirau lalu lalang orang bersujud
tiada pula seonggok hati berani menjamah

Melayang-layanglah ia
di apit dua malaikat
dengan tiada menghirau irama dunia

sukabumi, 2003
                Kakak tidak pernah mengira, sejak Pak Cevi meminjami novel Dokter Widi, kata-kata terus mengikuti ke mana pun langkah kaki pergi. Bahkan ketika kakak lulus dari sekolah aneh itu dan harus pergi dari rumah lalu tinggal di rumah nenek.
                Apakah engkau tahu, saat anak-anak lain meneruskan pendidikan ke SMA, kakakmu jualan asongan di pasar? Ya engkau tahu. Di mana pun aku selalu menulis dik, di sudut-sudut gang kumuh, di antara gemuruh kendaraan dan debu beterbangan, kakak menulis di atas kertas timah pembungkus rokok, yang isinya sudah habis di jual. Kadang kakak menulis di atas kayu milik penjual ketupat sayur, kadang di emperan toko, kadang di rel kereta api.  Tapi kakak tetap yakin suatu saat bisa bertemu Acep zamzam noor, bisa memiliki trofi, bisa sekolah lagi.

Ah tahukah kamu dik, berkat keyakinan itu satu-satu mimpi kakak terwujud. Kakak bisa sekolah di SMA terbuka, puisi yang tidak jadi kakak kirim ke Mading itu jadi juara pertama lomba membuat puisi antar pelajar se-kota Sukabumi, meski trofinya tidak pernah bisa hadir ke rumah, waktu itu kakak merasa tidak memiliki rumah, trofi itu kakak titipkan ke sekolah. Kakak pun bersyukur dapat mengenal sahabat-sahabat yang baik di Forum Lingkar Pena dan Komunitas Sastra Cianjur. Ya, di cianjur ini kakak dapat bersua dengan Acep zamzam noor, penyair yang dulu hanya kakak baca sajak-sajaknya di buku!
               
Pada mulanya adalah tangis

Ah Dik, kakak baru kemarin belajar internet, mengetik di komputer, menulis di blog dan catatan facebook, sesekali mengikuti berbagai lomba menulis, sesekali mengirim karya ke media cetak, meski tidak pernah di muat, sebelumnya kakak banyak menulis di buku harian, kakak memang tidak seberuntung dirimu yang banyak belajar berbagai hal di sekolah! Hal yang paling membuat bangga kakak adalah ketika Ibu Hanna fransiska menumumkan pemenang lomba menulis puisi tentang ibu, di mana nama kakak muncul sebagai 10 nomine, berdampingan dengan penyair yang kakak kagumi selama ini, ada M Aan Mansyur, faisal syahreza, Sunlie Thomas Alexander, Pringadi abdi surya, Dian aza, isbedy setiawan zs, dua jurinya antara lain, Acep zamzam noor dan Joni ariadinata.

Tapi adik, tidak semua orang menyukai apa yang kita tulis, airmata di atas kertas bisa membuat orang lain berang, seseorang bisa di culik, di penjara, di perkosa, di bunuh, di racun hanya karena apa yang tertuang dari pikirannya.  Seperti ibu tiri kakak, ibumu, yang menemukan buku harian berisi curahan hati kakak, kemudian dengan tulisan itu beliau mengusir kakak dari rumah. Itu terjadi selepas kakak lulus Madrasah Tsanawiyah.
                Adik, engkau saudari terbaikku. Meski kita tidak lahir dari satu rahim, hanya bapak kita yang sama, namun bagaimana pun kakakmu ini sangat menyayangimu.

Jika menulis adalah bulir-bulir tangis, barangkali sekarang ia sudah menganak sungai, terus mengalir ke tempat jauh.

Cianjur 2011