Senin, 28 November 2011

Light's flames in your eyes

i don't know if morning will be so quiet,
after we spent the bitter night,
it was not too quiet night

light's flames in your eyes,
doesn't enough to made my night glowing,
maybe it needs five or ten more lights,
so loneliness that stayed in every corner in my self
can be lessened

i want along the nights
we go around, talking about everything
or about your escape--it doesn't matter
u were wearing tattered shoes and faded jeans
then i'll shed
thickest yearning--it's like coffee's colour
that you've ordered from a Sir called night

but what for i know who your name
if i am going to lose in the end


Cianjur 2011

Nyala Lampu Pada Matamu

aku tidak tahu bahwa pagi akan terasa begitu tenang
setelah kita lalui malam yang tidak begitu manis
tidak begitu terang

nyala lampu pada matamu
tidak cukup membuat malamku bercahaya
mungkin perlu lima atau sepuluh lampu lagi
agar kesepian yang menghuni setiap sudut di dalam diri
bisa surut

aku ingin malam-malam kita
mengelilingi kota, bicara tentang apa saja
tentang pelarianmu juga tidak apa
kau kenakan sepatu rombeng dan jeans belel,
kemudian akan aku alirkan rindu paling kental,
seperti, warna kopi yang kau pesan dari tuan
yang bernama malam

tapi untuk apa tahu siapa namamu
jika pada akhirnya harus kehilangan


cianjur 2011

Terimakasih buat Dian Erika yang sudah menerjemahkan puisinya :)


Selasa, 22 November 2011

Puisi Goenawan Moehamad Dalam Buku 'Misalkan Kita Di Sarajevo'


Perempuan itu menggerus garam

Perempuan itu menggerus garam pada cobek
Di sudut dapur yang kekal
“Aku akan menciptakan harapan,” katanya, “pada batu
Hitam.”
Asap tidak pernah singkat. Bubungan seperti warna dunia
Dalam mimpi Yeremiah.

Ia sendiri melamunkan ikan, yang berenang di akuarium
Seperti balon-balon malas yang tak menyadari warnanya,
Ungkapannya, di angkasa. “Merekalah yang bermimpi,”
Katanya dalam hati.

Tapi ia sendiri bermimpi. Ia mimpikan busut-busut terigu yang
Trun, seperti hujan menggerutu. Di sebuah lading. Enam
Orang berlari seakan ketakutan akan matahari. “Itu semua
Anakku,” katanya. “Semua anakku.”

Ia tidak tahu ke mana mereka pergi, karena sejak itu tidak ada
Yang pulang. Si bungsu, dari sebuah kota di Rusia tak pernah
Menulis surat. Si sulung hilang. Empat saudara kandungnya
Hanya pernah mengirimkan sebuah kalimat,
“Mak, kami hanya pengkhianat.”

Barangkali masih ada seorang gadis, di sajadah yang jauh,
(atau mungkin mimpi it hanya kembali),
Yang tak mengenalnya. Ia sering berpesan dengan bahasa diam
Asap pabrik. Ia tak berani tahu siapa dia, ia tidak berani tahu.

Perempuan itu hanya menggerus garam pada cobek
Di sudut dapur yang kekal.

1995

Zagreb

Ibu itu datang, membawa sebuah bungkusan, datang jauh dari
Zagreb. Ibu itu datang, membawa bungkusan, berisi sepotong
Kepala, dan berkata kepada petugas imigrasi yang memeriksanya:
“Ini anakku.”

Suaranya tertoreh
Di beranda kantor tapal batas
Orang-orang menoleh
Cahaya cemas

Jam di atas meja itu seakan-akan menunjuk
Bahwa senja, juga senja
Tak akan bisa lagi meninggalkan mereka

Lalu ibu itu pun mendekat, dan ia perlihatkan
Isi bungkusannya, dan ia bercerita:

“Tujuh tentara menyeretnya dari ranjang rumah sakit,
tujuh tentara membawanya ke tepi hutan dan menyembelihnya,
tujuh musuh yang membunuh sebuah kepala yang terguling dan
menggelepar-gelepar dan baru berhenti, diam, setelah mulutnya
yang berdarah itu menggigit segenggam pasir di sela rumputan.

“Kesakitan itu terbungkus di sini, dalam sisa kain kafan.
Umurnya baru 21 tahun. Lihat wajahnya. Anak yang rupawan.”

Pohon-pohon platan yang terpangkas, berkerumun
Seperti patung-patung purba, bertahun-tahun
Lamanya, di pelataran. Gelap mulai diam,
Mulai seragam
Dan di kejauhan ada sebuah kota, kelihatannya: kaligrafi cahaya,
Coretan-coretan api pada ufuk,
Isyarat dalam abjad,
Kata-kata buruk

Tak ada yang membikin kita bebas rasanya
Opsir itu pun tertunduk, memimpikan anak-anak, oknum yang
Bercerita tentang cheri pertama yang jatuh pada pundak
Mereka tak ada lagi, bisiknya, tak ada lagi

Hanya seakan ada yang meneriakan tuhan, lewat lubang angin
Di tembok kiri, ke dalam deru hujan, menyerukan ajal,
Memekikkan jajal, dan desaunya seperti sebuah sembah
Yang tak jelas,
Nyeri, sebuah doa dalam bekas

Apa yang ingin kita lakukan setelah ini?
Ibu itu: ia membungkus kembali kepala yang dibawanya
Dari Zagreb, dan melangkah ke jalan.
Orang-orang tak menawarkan diri untuk mengantarkan
Di sana, di akanan kejauhan, arah raib, zuhrah raib
Bintang barangkali hanya puing, dan timur, dimanapun timur,
Hancur,

Tapi barangkali ia tahu apa nama kota berikutnya

1994

Doa persembunyian

-di sebuah gereja Rumania
Untuk ivan dan evelina

Tuhan yang meresap di ruang kayu
Di gereja dusun,
Di lembah yang kosong itu
Kusisipkan namamu

Jangan jadikan kerajaanmu

Bebaskan aku dari sempit yang gelap
Seperti surge
Yang gemetar ini

Beri aku
Tuah, dari isim yang asing
Seperti sepatah kata ibrani
Dari lidah tuan padre

Beri aku
Merah anggur yang tumpah
Sebelum mereka datang

Sebelum mereka
Melintasi makam peladang
Dan menangkapmu
Dari jemaah yang tidur
Di getsamani ini

O tuhan yang lenyap
Dalam ruang kayu
Yang hitam, sehitam tembakau,
Kusembunyikan namamu

Kusisihkan laparku
Takutku,
Pedangku

1996

Permintaan seorang yang tersekap
Di Nanking, selama lima tahun itu

Tuhanku, komandanku, Engkau, siapapun Engkau, pergilah
Dari Nanking

Di luar kamar
Malam hanya menghafal
Lolong langit anjing

Pergilah dari hamp, dari kamp,
Pergilah dari harap yang tersisa
Seperti sekam,

Berangkatlah dari kawat duri yang sabar,
Dari revolusi,
Dari percobaan sebesar ini

Tuhanku, siapapun Engkau, pergilah
Dari Nanking
Tinggalkan setasiun
Ke salju dan danau, cantumkan cahaya Baikal
Di malam yang sebentar
Dan sematkan sekilas bulan yang runcing
Seperti leontin

Sampai pada lanskap ini tak ada lagi yang baka,
Tak ada yang beku
Sebeku titahMu, mungkin
Sebeku namaMu.

Tuhanku, siapa pun Engkau, pergilah
Dari Nanking,

1996-1997



Minggu, 20 November 2011

3 Puisi

Khoer Jurzani

Izroil

Jatuh cinta
pada malaikat
bersayap
lembut

sahabat jauh
dari langit

di angkasa
ia rahasia
ia darah

duhai
terimalah:

jantung kecil
pada ujung
peniti

2011

Cangkir Kopi

bagaimana
kalau kita
minum
dari satu
cangkir kopi

biar
aku pandang
semburat
wajah pagi
di ujung bibir
engkau
yang mungil

biar
aku dengar
suara
dan
menatap
uap hangat
dari cangkir
dari bibir

hingga
subuh hari
tatkala
aku
belum selesai
menjaga
engkau
yang tinggal
sebaris
puisi sepi
pada kosong
cangkir kopi

2011

Peniti

jiwa
pergi
di
culik
izroil
suatu
malam
kira-
kira
pukul
dua
belas

di
gigir
badan
seratus
peniti
siap
hunus
nadi

jiwa
pergi
di
culik
izroil

tinggal
peniti
satu
satu
nusuk
pada
nadi

2011

Kamis, 17 November 2011

Puisi F. Garcia Lorca

Balada Air Garam

Sang laut
senyum di jauhan.

Gigi berbusa.
bibir cakrawala.

‘Apa yang kau jajakan, anak merana,
anak yang telanjang dada?’

‘Tuan, saya berjualan
air garam samudera.’

‘Apa yang kau bawa, anak kelam,
berbaur dengan darahmu?’

‘Tuan, saya membawa
air garam samudera.’

‘Ini asin airmata
datang dari mana, ibu?

‘Tuan, saya menangis
air garam samudera.’

‘Jiwa, pahit yang dalam ini,
dari mana munculnya?’

‘Sungguh pahit,
air garam samudera!’

Sang laut
senyum di jauhan.
Gigi berbusa.
bibir-cakrawala.


Kamis, 10 November 2011

Sakit Itu Tidak Menyenangkan

Ini merupakan sakit paling parah selama beberapa tahun ini, atau selama aku tinggal di Cianjur. Tenggorokan sakit, perut mulas, badan panas. Dan untuk berjalan rasanya capek, lidah pahit, nasi dan sayur sup sarapan pagi tidak aku habiskan, padahal aku sangat senang makan.

Ya gara-gara makan. kemarin malam, selepas dipangkas rambut aku merasa sangat gerah, selepas isya itu aku mandi. Karena perut keroncongan terus, jam sebelas malam itu aku makan semangkuk bakso, biasanya aku selalu pesan baso dengan kuah bening, karena tahu penyakitku dari dulu itu kalau tidak radang tenggorokan ya sakit perut, setelah makan bakso itu tenggorokanku langsung terasa sakit, ditambah aku tidur di aula, dan angin malam pun dengan leluasa masuk ke tubuhku.

Seharian itu semua makanan yang aku lihat nampak menakutkan. Pertolongan pertama aku coba minum air hangat. Dan karena kemarin aku teriak-teriak baca puisi, sakit tenggorokanku pun kian menjadi. Suaraku jadi serak. Padahal di kampus banyak sekali kegiatan, seperti Pramuka, hari ini rencananya akan ada tamu ke Pramuka kami, tapi aku tidak bisa ikut karena, pertama sakit, kedua acaranya bentrok dengan jadwal pementasan puisi di Cipanas, aku jadi panitia.

Aku selalu tanpa persiapan, padahal kalau sakit, siapa yang mau mengurusku? Ini adalah sakit paling parah, ketika mengetik blog ini pun wajahku terasa panas dan tenggorokan sakit, padahal selama tiga hari ini aku jadi panitia pentas baca puisi!

Aku kesal pada diriku sendiri yang terlalu liar, makan sembarangan, tidur sembarangan, jalani hari dengan sembarangan. Bahkan untuk ujian hari senin pun aku tidak ada uang buat bayar, padahal cuma 200 ribu, uangku habis buat makan sehari-hari, ketika mahasiswa yang lain mengambil kartu ujian, aku hanya mengisap jempol, dan dengan  muka super tebal bicara pada bapak TU kalau aku belum ada uang buat ujian.

Semalam dan pagi ini adalah saat paling parah, batukku berdahak, jalan kaki terasa lelah, apakah aku anemia? oh jangan sampai.

Aku kan jarang begadang, hanya beberapa hari ini aku memang terlalu memporsir tubuh, bolak-balik cianjur-sukabumi, kerja siang hari, dan malam kurang dapat waktu istirahat yang baik. Tidur di sanggar hanya beralaskan karpet, pake keramik lagi bawahnya. Akhir-akhir ini aku pun banyak makan keripik pedas, daging kambing....

Intinya sakit itu tidak menyenangkan. Semalam aku tidur dengan memakai sarung, bantal, berharap akan baikan pada pagi harinya. Ah tiap malam kuping selalu tidak bisa istirahat, karena seseorang terus saja gonjrang-ganjerng main gitar sampai pagi, ia tidak mau tahu aku sedang butuh istirahat.

Cianjur 2011




Rabu, 09 November 2011

Pocong Error

Semalam photo-photo aneh di dinding Facebook, dan inilah hasilnya:







 

Selasa, 08 November 2011

Hari Ini di Sukabumi Hujan Turun Kecil-Kecil



Sudah lama tidak curhat, berbicara sepuasnya tentang apa yang aku alami hari ini dan kemarin dan kemarinnya lagi. Kalau pun tidak ada yang berkenan membaca tidak apa-apa, menulis sudah menjadi kebutuhan saya kok, kalau tidak menulis, ya seperti inilah saya, akan jadi kacau, banyak sampah di dalam otak dan hati saya yang mesti dibersihkan, salah satu cara membersihkannya tidak lain dengan menulis. Bersihkan hati dengan menulis. Haha. Sudah lama tidak menulis cerpen, menulis puisi, dan, tadi siang saya jalan-jalan ke perpustakaan dan toko buku, hasrat menulis sebuah novel pun kembali menyala di dalam diri saya. Saya ingin membuat sesuatu, meski pun sebuah buku tipis, sebuah cerita panjang, semacam novelet. Ah dari dulu keinginan itu belum juga dikabulkan oleh diri saya, ya bagaimana Tuhan akan mendengar permohonan saya, lha sayanya sendiri belum bergerak kemana-mana.  
Aku lihat dari balik jedela hujan kecil-kecil masih turun. Sebatang kara di kamar, mendengarkan my immortal-nya Evanascene, memikirkan diri yang usia 24.
Di jalan, sepulangnya dari toko buku dan mengantarkan froposal pertunjukan puisi ke beberapa sekolah, aku bertemu dengan seorang teman Paket C atau SMA, teman dekat, yang, entah berapa tahun tidak bertemu, dan pas bertemu, dia bilang sudah punya bayi berusia delapan bulan. Duh teman-temanku sudah pada punya kehidupan yang seru sepertinya. Aku kapan ya.. hahay melebay.
Aku sendiri nyaman kok dengan hari-hariku saat ini, meskipun jika dipikirkan lagi, betapa seramnya, seperti sebuah gambar hitam putih yang goyang-goyang di depan layar. Menunggu pecah. Banyak sekali hal yang menggelisahkan. Yang tidak menyamankan orang lain, contohnya orang tuaku. Dalam benak mereka, mau jadi apa anakku ini, kok dari dulu hidupnya begitu-begitu mulu, datar, kemana-mana masih senang jalan kaki kayak orang tidak waras, hoho.
Jalan kaki sehat kok buat kantong. Dari dulu itulah yang selalu menggelisahkanku, meski aku sendiri sangat santai menjalani hari, tapi tetap aku iri juga melihat teman-temanku punya kehidupan yang lebih maju, terbang meninggalkanku seorang.
Saat hujan turun kecil-kecil seperti inilah, (eh sekarang Jewel lagi nyanyi di winampku, Stay Here Forever) aku suka ingat hari-hariku di gudang, ya ampun aku tidak menyangka bisa keluar dari tempat yang penuh kenangan itu, tidak mungkin aku bisa kembali ke sana, kalau ingat, betapa puitisnya hari-hariku, hujan-hujan, lari-lari menyeberangi jalan, membeli cemilan ke kios rokok. Hujan-hujan, kedinginan di gudang, lari-lari ke warnet demi update status…
Sekarang pun kehidupanku tidak kalah puitis kok, rame dan banyak sekali orang ! orang-orang hebat, para seniman muda itu, di gedung kesenian gitu, di sanggar sastra hahaha. Yang karena aku belum memiliki pemasukan buat hidup di Cianjur, aku harus kembali ke rumah Di Sukabumi, kerja sedikit-sedikit buat biaya sehari-hari.
Banyak yang tidak sempat aku tuliskan mengenai hari-hariku beberapa minggu ini. Misalnya ketika aku diundang berbicara di SMANSA pada acara menulis, satu minggu kemudian diundang ke Universitas Suryakencana Cianjur untuk bedah buku, karena bukunya tidak terbit akhirnya tidak dating, sabar bukunya pasti terbit kok, kataku sambil mengelus dada.
Ya menerbitkan buku, duh.. teman yang aku temui tadi di jalan bilang, dia sekarang punya percetakan yang dikelola bareng suaminya di rumahnya, hm kapan-kapan bisa deh hubungi dia kalau ada modal buat menerbitkan buku.
Oh ya pengumuman, buku Ushul pikih belum aku beli, padahal kata dosennya itu wajib dibeli kalau tidak, aku tidak boleh ikut ujian, hahay, aku malah beli buku Keajaiban di Pasar Senen, buku cerpen Budi darma, dan buku proses kreatif menulis beberapa penulis, ketimbang mendahulukannya 50 ribu!
Akhir-akhir ini aku memang kurang fokus. Aku jualan keripik di kampus, aku ikut Pramuka di kampus, ikut kegiatan organisasi, menghapal tugas dari dosen, yang tidak pernah mendapat nilai lebih dari tujuh itu, ikut jadi panitia pementasan puisi 7 kota, nulis catatan-catatan yang tidak karuan, mengirim esai-esai pendek ke Koran Cianjur ekspres, lalu lonjak-lonjak melihat photoku nampang di Koran, melihat dan mendengar anak-anak sanggar baca puisi, main gitar, main jimbe, tiduran, makan, jalan-jalan, tidur lagi, makan lagi, jalan kaki ke kampus, ke sanggar lagi, tidur lagi, baca, bolak-balik Sukabumi-Cianjur, dimarahi orangtua, kesal sama salah seorang yang suka minjem suatu hal tapi tidak mau mengembalikan.
Melihat teman-teman di Cianjur pada menerbitkan novel, buku puisi, karyanya menang lomba di tingkat nasional, ya anak-anak sanggar memang pada keren, semuanya jawara, lha aku, aku kan lagi fokus di awal-awal kuliah, hehe alasan banget.
Entah kuliah juga belum bayar UTS, padahal hari senin ini UTS, jumat sampai minggu-nya aku pementasan puisi di Cipanas, aku ikut dong, bantu-bantu bawa kardus dan apa saja lah yang penting diajak haha.
Kacau ya diriku.

Only when i slep. The coors nyanyi buatku.


                Sukabumi 2011, saat hujan kecil-kecil terjun ke selokan dan jalan-jalan.

Sabtu, 05 November 2011

TIGA SAJAK KECIL



/1/

Pada suatu pagi hari
seorang gadis kecil
mengendarai selembar daun
meniti berkas-berkas cahaya.

“Mau ke mana, Wuk?”
“Ke Selatan situ.”
“Mau apa, Wuk?”
“Menangkap kupu-kupu.”


/2/

Pada suatu siang hari
seorang gadis kecil
belajar menggunting kertas,
gorden, dan taplak meja;

“Guntingan-guntingan ini
indah sekali, akan kujahit
jadi perca merah, hijau, dan biru
bahan baju untuk Ibu.”




/3/


Pada suatu malam hari
seorang gadis kecil
menodong ibunya membaca cerita
nina-bobok sebelum tidur;

“Malam ini Puteri Salju,
kemarin Bawang Putih,
besok Sinderela, ya Bu
biar Pangeran datang menjemputku.”


-Dari kumpulan puisi Ayat-Ayat Api, Sapardi Djoko Damono



Gema Sastra

Hari sabtu di awal nopember kemarin komunitas sastra Cianjur melakukan invasi ke SMPN 1 Cipanas, untuk membacakan puisi. Berikut ini sebagian photo-photonya.














 


Rabu, 02 November 2011

Mawar Di Halaman Belakang



Special Tanks to: Ersin Kaplan

Di halaman rumah kami tumbuh bunga mawar yang indah, berdiri gagah seperti sebatang pohon. Warnanya merah jambu, memiliki mahkota bunga lebar serta batang yang kokoh. Dari arah kamar tidur aku dapat melihat mawar itu tumbuh, daun-daunnya yang kecil dan sedikit berduri bisa aku perhatikan setiap kali membuka jendela di pagi hari.
Aku rasa bunga mawar itu sudah tumbuh sebelum kami menempati rumah ini. Karena Mom tidak mungkin mempunyai banyak waktu untuk menanam apalagi merawat tanaman di pekarangan. Apalagi Daddy. Yang aku ingat, pada waktu kecil aku senang sekali berada di dekat pohon mawar seraya membaca buku mungil Beatrix Potter hadiah dari Daddy pada natal tahun lalu. Membayangkan menjadi Peter si kelinci kecil yang menyelundup di antara semak mawar.
Ya, pohon mawar itu sudah tumbuh ketika kami baru menempati rumah yang cukup besar di ujung jalan di pinggiran kota Sheffield. Sebelumnya kami tinggal di rumah bersama kakek dan anggota keluarga yang lain di pusat kota. Setelah kakek meninggal dunia di usia yang hampir seratus tahun, (menurut Daddy, keluarga kami memang beruntung dikaruniai usia panjang dan sehat, bahkan, masih menurut Daddy, kakek buyut kami ada yang usianya sampai lebih dari dua ratus tahun!  Entah, aku sendiri tidak yakin akan hal itu ) Daddy dan Mom mulai merasa tidak nyaman berada di rumah peninggalan kakek.  
 Mereka berpikir, rumah itu sudah tidak layak lagi dihuni. Kehadiran anggota keluarga lain itulah yang membuat Dad dan Mom memutuskan untuk pindah. Karena rumah peninggalan kakek tidak hanya dihuni oleh kami, melainkan oleh anggota keluarga dari bibi dan keluarganya, paman dan keluarganya, yang masing-masing mempunyai lima anak laki-laki, tiga gadis remaja, juga dua bayi yang setiap malam menjerit-jerit membuatku tidak dapat membedakan mana siang dan malam karena bising. Bisa dibayangkan bagaimana ramainya kehidupan kami waktu itu. Aku heran, kenapa usia keluarga kami relatif panjang, jika rumah yang hanya dua lantai itu ditempati oleh keluarga besar yang selalu ramai.
Beruntung,  Daddy mendapatkan rumah yang nyaman ini dari seorang kenalan di tempatnya bekerja. Katanya, dulu rumah ini dihuni oleh pedagang keturunan Turki, karena usaha mereka di Inggris mengalami kebangkrutan, rumah ini pun di jual dan mereka kembali ke Turki. Meski katanya di jual dengan harga yang tidak terlampau mahal, tapi Daddy yang hanya seorang pegawai rendah di kantor pos itu harus menambahkan uangnya dengan tabungan Mom yang bekerja paruh waktu sebagai penjaga toko cinderamata agar dapat membeli rumah yang nyaman ini.
Selain kursi,  peralatan rumah tangga dan beberapa foto keluarga, tidak ada yang berubah dari rumah ini. Di dinding rumah masih menempel kaligrafi berbahasa arab berbagai warna dan motif. Di kamarku, (akhirnya aku memiliki kamar sendiri, tidak berdesakan dengan para keponakan seperti di rumah kakek dulu)  sebuah karpet yang sangat halus terhampar di lantai. Membuat telapak kaki terasa hangat saat menjejak di atasnya pada pagi buta manakala musim dingin tiba.
Di seberang tempat tidur, ada sebuah jendela yang menghadap ke halaman belakang. Dari balik jendela inilah untuk pertama kalinya aku melihat pohon mawar berwarna merah jambu, menyemak seperti harum manis yang terlalu banyak di sebuah sudut pasar malam. Yang paling menyenangkan adalah  aku bisa melompat dari jendela untuk langsung menyerbu halaman belakang menuju pohon mawarku tanpa mesti berputar ke depan pintu. Pohon mawarku,  aku sudah merasa pohon mawar itu milikku dan aku harap orang yang pertama kali menanam mawar itu di halaman belakang tidak marah karena aku sudah mengaku-ngaku.
***

Aku tidak pernah mengira, jika mawar di halaman belakang  akan tumbuh sangat indah seperti sekarang, jika mengingat dulu, satu bulan setelah kami menempati rumah ini, Daddy dengan merasa berkuasanya merusak, memotong, dan hendak memusnahkan semua tanaman yanga ada di halaman belakang, termasuk pohon mawar kesayanganku. Apakah Daddy tidak tahu, jika di antara semak di bawah pohon mawar itu hidup Petter Rabbit dan keluarganya?
Ceritanya, waktu kami bertiga sedang menikmati hari libur bersama di ruang keluarga. Daddy yang sedang membaca koran hari minggunya tiba-tiba berseru.
 “Bagaimana kalau kita membersihkan halaman belakang,  nampaknya sudah banyak semak belukar tumbuh di sana!”
 “Bukankah dari pertama kali menempati rumah ini sudah kubilang, halaman rumah kita seperti hutan, kamu harus segera merapikannya sebelum hewan-hewan yang disembunyikannya mencelakai kita, Robert.” Ujar Mom, perhatiannya beralih dari televisi yang sedang ia tonton. semenjak bekerja paruh waktu di toko cenderamata, Mom jadi jarang menonton acara televisi, bahkan Talkshow Oprah Winprey yang menjadi tontonan wajibnya pun mulai ia tinggalkan, semua demi mengisi kembali tabungan Mommy yang terkuras. Beruntung jatah uang sakuku tidak berkurang, dan buku-buku bacaan pun masih terus bertambah tiap bulan, hanya makan malam kami saja yang terasa mulai membosankan. 
Mulai sekarang kita perlu menghemat Mark.” Kata Mom padaku ketika kami berbelanja di supermarket tempo lalu, seraya memasukan lima bungkus sereal, susu, dua botol saus, sebotol kecil mustard, tiga ekor salmon, beberapa botol minuman ringan, dan satu kaleng biscuit.
Mom senang ngemil biskuit kaleng sebelum tidur, padahal ia baru saja makan malam.
Apakah ini yang dinamakan menghemat Mom? Mommy tidak menjawabnya.
“Apakah kamu mau membantu membabat hutan di halaman belakang, Mark? “ Aku hanya menggeleng, tidak menghiraukan perkataan Dadd. Petualangan Petter Rabbit dan cerita-cerita Roald dahl lebih menarik bagiku. Aku hanya bilang begini ketika Dadd beranjak dari kursinya menuju gudang untuk mengambil perkakas guna membersihkan halaman belakang.
“Jangan sampai perkakas Daddy menyentuh pohon mawarku, Jangan sampai perkakas Daddy menyentuh pohon mawarku, ingat!”Aku sampai mengucapkannya dua kali.
Seharian,  mom menghabiskan waktunya di dapur, memasak untuk makan malam nanti. Aku dengan buku bacaanku di ruang keluarga sedang Dad dengan gunting tanaman dan perkakasnya di halaman belakang.
Setelah bosan dengan bacaanku, aku beranjak menuju halaman belakang, memastikan apakah gunting tanaman Daddy benar-benar tidak menyentuh semak mawar. Apa yang terjadi di halaman belakang? Acara membersihkan halaman yang aku kira hanya membersihkan semak belukar dan rerumput liar ternyata tidak lain adalah arena pembabatan hutan.
“Semua tanaman Daddy tebang!” Aku berteriak begitu mengetahui pohon mawarku telah menjadi korban kekejaman gunting tanaman Daddy yang mengerikan.
“Kenapa Daddy menebangnya?” Teriakku histeris. Dad, setelah melakukan kejahatan itu hanya berkata,
“Hanya semak mawar, nanti juga tumbuh lagi, sudah, untuk apa menangis lelaki kecil? Daddy tidak mendengarkan.  Aku berlari ke arah kuntum-kuntum mawar dan daun-daunnya yang rontok. Daddy kejam! Bukankah tadi sudah kubilang, jangan sentuh pohon mawarku, karena di sini hidup Peter Rabbit dan keluarganya
“Kenapa Daddy menebangnya?tanyaku dengan suara yang nyaris tidak terdengar olehku sendiri. Di antara kuntum mawar di atas rumput aku duduk, meraih setangkai mawar terakhir lalu bangkit, membawa serta setangkai mawar ke rumah untuk di masukan ke dalam vas, menaruhnya di atas lemari yang berhadapan dengan ruang keluarga, supaya Mom, terutama Daddy tahu betapa aku sangat mencintai mawar ini.
Setiap hari, sebelum berangkat dan pulang dari sekolah, pekerjaanku tidak lain adalah memandangi sekuntum mawar di dalam vas. Sebentar lagi mungkin akan layu lalu mati. Aku berbicara padanya setiap hari, kadang disertai nyanyian tidak jelas juga kadang disertai isak. Mom sampai bingung melihat tingkah lakuku yang aneh semenjak kehilangan pohon mawar, sedangkan Dadd, aku tidak peduli lagi padanya.
Satu hari, dua hari, tiga hari, empat hari kuntum mawarku tidak juga mati. Pada hari kelima aku ingin mengganti airnya,  ketika aku mengambilnya dari vas bunga, aku melihat bahwa di bawah batang mawar itu, telah tumbuh akar dengan sendiri. Aku merasa air mata mengisi pelupuk mataku, lalu jatuh tanpa sempat aku sentuh. Mawarku kembali hidup. Aku pun memindahkan mawar itu ke tempatnya semula, di hamanan belakang, berdampingan dengan rumput-rumput kecil, dan mereka berpelukan satu sama lain sekarang. Ketika mawarku mekar, sepertinya ada sebatang pohon juga mekar di dalam jiwaku.
Di usiaku yang ke delapan belas, ketika aku sudah mempunyai adik perempuan bernama Matilda, yang juga sangat mencintai bunga Mawar di halaman belakang, seseorang bertamu ke rumah kami. Matilda yang membuka pintu.  Mom kemudian muncul dari dapur, mempersilakan tamu itu untuk masuk. Tidak lama kemudian Matilda berlari ke kamarku, mengatakan, kalau ada tamu yang hendak melihat pohon mawarku di belakang, Mom menyuruhku untuk menemaninya. Apakah tidak ada pekerjaan yang lebih penting dari sekedar mengantarkan seorang asing jalan-jalan ke halaman belakang? Apakah orang itu tidak mempunyai kaki?
Yang kutemui di ruang tamu adalah seorang gadis sebaya denganku. Dari wajah dan pakaian yang ia kenakan sepertinya ia bukan berasal dari daerah ini, bahkan bukan berasal dari negeri ini. Menurutku gadis itu cukup cantik, tidak cukup, tapi memang cantik, aku terpesona. Mengantarkannya melihat mawar di halaman belakang sepertinya menyenangkan. Kain putih polos yang menutupi kepalanya menandakan ia adalah seorang gadis muslim.
 “Mark, ini Hilal Yilmaz, ia berasal dari Turki, dulu, sebelum kita, keluarga Hilal-lah yang pertama kali menghuni rumah ini. Sekarang Hilal kuliah di London, berkunjung ke rumah kenangannya khusus untuk melihat semak mawar yang waktu kecil pernah ia tanam di halaman belakang. Hilal bertanya apakah pohon mawarnya masih tumbuh, Mom jawab, tentu saja, karena kamu adalah orang yang telah merawat mawar itu selama ini. Jadi kamu jugalah yang harus mengantarkan Hilal menemui bunga mawarnya, Mom masih ada urusan di dapur.
Matilda bisakan membantu Mom membuat pudding,” Mom seraya beranjak ke dapur, Matilda mengikutinya dari belakang.  
Aku mengangguk pada gadis Turki itu. Ternyata dialah yang memiliki pohon mawarku sebelumnya.
Di halaman belakang gadis itu sibuk mengabadikan pohon mawar dengan kamera dari telepon genggamnya, mengabaikanku, ia kira aku patung.  Ia kira aku guide-nya saja.
“Waktu kecil aku senang sekali memandangi mawar ini dari balik jendela kamarku. Kamu percaya jika aku memperoleh benih mawar ini dari dalam mimpi? Sesosok peri dari kastil di atas bukit, memberikan benih mawar padaku. Katanya akan ada keluarga kelinci yang akan berumah di bawah semak mawar bila aku menanam mawae ini. Menurut dia, mawar ini kelak akan mengantarkanku pada seorang pangeran Inggris. Ketika aku terjaga pada pagi harinya, aku dapati sekotak mawar mungil di samping tempat tidur, apakah Ummi atau Abi yang menaruhnya di sana aku tidak tahu, karena hari itu pun tepat hari ulangtahunku. Sayang, aku belum sempat melihat keluarga kelinci hidup di bawah semak, ketika mawar itu mulai tumbuh, kami sekeluarga harus meninggalkan negeri ini. Untuk pulang ke Turki.Kisah gadis itu.
Dalam hati, aku memercayainya dan tentu mawar-mawar ini senang bisa bertemu kembali dengan orang yang pertama kali mencurakan kepada mereka kasih sayang.

                Cianjur 2010



Minyak Telon Ibu



Akhirnya aku mengerti. Kenapa ibu selalu melumuri kulitku dengan minyak telon saban pagi. Tatkala matahari menyeruak dari balik daun singkong, mengintipku melalui celah jendela, lalu dengan pelukannya yang lembut ibu membawaku ke ladang singkong guna menjemur dan membasuh telapak kakiku dengan bulirbulir embun. Aroma telon yang harum akan menjadi azimat jika kelak engkau tersesat, bisik ibu di sela doanya pagi itu.

Ibu adalah baiduri, tempat pertama kali aku mengenal cinta. Suatu hari, kulihat baiduriku diamdiam menjatuhkan embun serupa pecahan beling di kedua danau pada wajahnya yang bening. Bapak pulang, membawaku pergi dari rumah di samping ladang singkong. Suara ibu terdengar samar, memanggilku untuk kembali. Tapi bapak malah menyuruhku memanggil perempuan lain dengan sebutan ibu. Padahal belum sekalipun ia melumuri tubuhku dengan minyak telon dan doadoa seperti yang dilakukan ibu padaku.

Ibu benar, aku tidak akan bisa pergi terlalu jauh darinya. Kota membuat telingaku tuli, bangku kayu terlalu sunyi untuk kujadikan kawan berbagi. Tubuhku mulai di tumbuhi lumut, jalan pulang mulai berkabut. Kucari aroma minyak telon di sudutsudut gang, di malammalam tanpa mimpi, di etalase toko, tapi tidak ada satu pun minyak telon yang bisa mengantarkanku ke ladang singkong, kepada surga di bawah telapak kakimu.

                                                                                  2010

Tanda Tangan Penyair






Dalam tempo tidak lebih dari dua minggu ini aku bersua dengan dua orang tokoh penyair, sastrawan dan budayawan Indonesia di Cianjur. Kang Godi suwarna, dan sapardi djoko damono. Beberapa tahun lalu, aku pun merasa beruntung dapat bertemu, bahkan duduk satu meja dengan Acep zamzam noor pada acara diskusi puisi di kafe seorang pelukis, Adam jabar, sempat photo-photo dan minta tanda tangannya juga.

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika aku bisa bersua, mengobrol dan berjabat tangan dengan beliau! Sungguh akhir-akhir ini banyak sekali keajaiban –Nya yang Ia tampakan padaku.

Kang Godi suwarna, orangnya sangat ramah, beliau bahkan menyapaku lebih dulu, dan ketika aku bertanya bagaimana caranya agar tulisan yang kita buat bisa memiliki ruh, beliau menjawab dengan cepat, detail dan sangat menyenangkan. Waktu itu aku bertemu kang Godi, yang kemarin baru saja membacakan puisi sundanya di Jerman, saat aku diundang jadi pembicara di SMANSA Cianjur, bersamaan dengan acaranya 
 Kang Godi di ruang lain!

Sapardi Djoko Damono, sebagai seorang guru  besar. Dengan senang hati beliau melayani permintaan tanda tangan dariku.