Rabu, 10 Oktober 2012

Laki-laki Yang dikutuk Menjadi Wortel




Aku adalah wortel orange di ladang papa. Menikmati warna langit yang indah dan berseru setiap kali burung pipit dengan sayap kusam dan kurang menarik terbang ke atas pohon nangka! Aku wortel orange yang berpura-pura bahagia dengan apa yang diberi papa, papa tahu segalanya, papa memberiku segalanya, tapi papa jauh sekali, kadang dekat juga, tapi papa tidak pernah menampakkan dirinya, sama sekali tidak, papa hanya mendengar, sesekali menghembuskan kasih sayang pada helai daun nangka kering kemudian jatuh di atas tubuhku.

Acapkali aku merindukan aroma dari cahaya matahari yang menempel dan terperangkap di kaos serta rambutmu. Acapkali ada perasaan sesak, lebih sering lengang.  Aku tidak kehilangan apa-apa, hanya kesepian yang berulangkali memakasaku untuk lelap, dan bisu. 


Aku merindukan dongeng kanak-kanak, aku ingin berteriak di muka pabrik, di muka bapak presiden yang tercinta, kadang jelaga jatuh ke pelupuk, dan aku tidak dapat melihat apa pun, dunia bagiku seperti warna abu pada hari paling lesu. Aku sendiri, maka aku ada.

Aku mulai ngawur ya, aku memang ngawur, aku menulis karena aku ngawur. Banyak warna di dunia yang harus segera aku sentuh, aku malah memilih sendiri. Jangan bilang bahwa aku pengecut. Aku hanya wortel orange yang dikutuk papa menjadi maya. Menjadi tiada. Bukankah asalnya aku tiada, lalu menjadi ada karena cinta dan napsu mami dan papi yang bersatu menjadi aku.

Aku merindukanmu. Aku merindukan sebatang lilin yang mencurahkan ilmu, atau imam s arifin, atau kamu. Aku sendiri, aku butuh kamu saat ini.  





Sabtu, 28 Juli 2012

Senter Adam Kaisinan : Kumpulan Puisi Pertama Khoer Jurzani

Judul: Senter Adam Kaisinan
Penulis: Khoer Jurzani
Penyunting: A Muttaqin
Penerbit: Buku Bianglala
Kota terbit: Gresik
Tahun terbit: Juli 2012
Tebal buku: 48 halaman
Harga: Rp. 25.000 + Ongkos kirim
ISBN: 978-602-9415-75-9

Endorsement:

Puisi-puisi Khoer adalah puisi yang berpendaran di tempat kelabu (Mardi Luhung, Guru dan Penyair)

Khoer adalah sosok yang mengingatkan pada sebuah ajaran kebijaksanaan China yang saya yakini, bahwa: “Di dunia ini tidak ada hal yang sulit, kecuali kekhawatiran pada ketekunan hati manusia.” Khoer meski hidup di dunia yang tak “terduga” tapi mampu menampilkan ketekunan hati itu.  Dan Khoer pun menunjukkan dengan puisinya, lalu membagi pada kita semua. (Hanna Fransisca, Penyair, Cerpenis, dan penulis lakon)

Senter Adam Kaisinan adalah antologi puisi tunggal pertama Khoer jurzani,  berisi 30 puisi hasil menyuling dari saripati kehidupan dan sebuah perjalanan panjang. Di dalamnya Khoer bercerita mengenai banyak hal. Mulai mitologi sampai  kehidupan sehari-hari. Dari kucing sampai cacing, dari biji sesawi sampai Nyi pohaci. Meski Khoer dibesarkan di daerah pinggiran perkotaan, tapi ia tidak bisa melepaskan sejarahnya, bahwa ia pernah menjadi anak kampung yang sehari-hari bermain dengan lumpur. Penyair Lutfi mardiansyah bilang dalam reviewnya yang berjudul Khoer jurzani dan Puisi Wangi Padi:

Khoer tetap menjadi anak kampung yang lebih doyan memanjat pohon, mandi di sungai, dan makan nasi liwet dengan lauk ikan asin dan sambal dan lalapan. Simak saja beberapa puisi di dalam buku Senter Adam Kaisinan ini, seperti Minyak Telon Ibu, Nyi Pohaci, Sumur Bandung, dll. Banyak sekali diksi-diksi yang berbau pedusunan, semisal daun singkong, bilik, lisung, karuhun, harendong, alu, ani-ani, lumbung padi, biji sesawi, dll. Sebuah puisinya berjudul Sumur Bandung, menangkap tradisi berpamitan setiap kali seseorang mendatangi tempat asing untuk kembali pulang agar tidak diganggu setan, jin, hantu dan sebagainya: Badagna, lembutna, abdi uwih.

Kumpulan puisi Senter Adam Kaisinan sangat kental dengan nuansa kesepian dan dongeng-dongeng yang memang sudah lama menjadi obsesi Khoer. Faisal Syahreza dalam esainya yang berjudul, Anak Lelaki dan Lemari Puisi, mengatakan Khoer memang sangat  terobsesi dengan sayap, malaikat, hantu-hantu.
Dalam puisi Adam Kaisinan, di bait awal Khoer cantumkan Mantra memandikan jenazah suka Baduy, Kenekes-Banten, diambil dari buku Kesusastraan sunda. BP 1948 Hal.36,

“Puhaci balak bahan jati ngaran lemah cai                                                                                  
Puhaci keliran jati ngaran sisi cai,
Puhaci inggulah jati ngaran batu
Puhaci tasik manik  ngaran keusik
Sang mukeyi ngaran cai,
Sang ratu kerepek mana ngaran nyawa cai
Bersih badan sampurna.”   

Adam Kaisinan ialah Mitologi dari suku baduy, di mana Adam yang merasa berkuasa atas dirinya serta tidak percaya akan zat yang menciptakannya berubah wujud jadi pegunungan Kendeng di Banten Kidul, berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Sementara ruh Adam kaisinan menjelma jadi raja ular batara nagaraja.Para ahli masih memperdebatkan apakah Adam kaisinan dalam mitologi Suku Baduy adalah Adam yang juga salah satu Nabi dalam Agama Syamawi.

Faisal syahreza dalam esainya, Anak Lelaki dan Lemari puisi menyebutkan:
Puisi khoer dibentuk dari alam bawah sadar yang sudah akut  ia kandung, di mana puisi-puisinya didominasi oleh memorial dan dunia khayal anak-anak yang sudah lama tercuri darinya. Tidak heran mengapa sesosok ibu selalu jadi tujuan pertama Khoer dalam menulis puisi. Alhasil, Khoer menuliskan peristiwa yang bersejarah dalam hidupnya, dengan tokoh ibu. Saya kutipkan puisinya berikut sebagai kecurigaan saya:

Ibu adalah baiduri, tempat pertama kali aku mengenal cinta. Suatu hari, kulihat baiduriku diamdiam menjatuhkan embun serupa pecahan beling di kedua danau pada wajahnya yang bening. Bapak pulang, membawaku pergi dari rumah di samping ladang singkong. Suara ibu terdengar samar, memanggilku untuk kembali. Tapi bapak malah menyuruhku memanggil perempuan lain dengan sebutan ibu. Padahal belum sekalipun ia melumuri tubuhku dengan minyak telon dan doadoa seperti yang dilakukan ibu padaku. 

Khoer lewat objek ‘minyak telon’ dalam puisi tersebut mencoba menaklukan rintangan yang berat bagi setiap orang, yakni : jarak dan samarnya sebuah nasib.

Pemilihan objek dalam puisi Khoer terkesan sederhana, apa adanya dan lancar begitu saja. Tiba-tiba misalnya ‘senter’ muncul sebagai komoditas untuk membicarakan mimpi dan kemuramannya sendiri. Keinginan Khoer untuk melacak identitas dirinya, memang tampak kuat dalam penggunaan benda-benda yang kerap muncul dalam puisi. Tali rapia, kardus basah, debu dan barang loak lainnya adalah menu biasa yang pernah digeluti dalam hidupnya.

Lutfi Mardiansyah, dalam reviewnya, Khoer jurzani dan Puisi Wangi Padi:
Secara keseluruhan, puisi-puisi di dalam buku ini seperti keripik singkong dengan bumbu rempah: renyah. Bahasanya mengalir, enak dibaca, dengan sisi estetik yang tetap terjaga. Keberagaman tema yang dihadirkan juga membikin buku ini jadi tambah lezat, seperti lotek, atau karedok. Khoer berhasil untuk tidak menjadi durjana, hanya menjadi Jurzani, ia menjadi satu dari sekian banyak manusia yang hidup di dalam lingkaran bernama kota, tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai seorang desa, seorang kampung, seorang dusun. Khoer cuma penyair yang ingin tetap setia kepada bunyi seruling, tak tertarik pada musik disko. Tapi ia sama sekali tidak kampungan, hanya karena ia berasal dari sebuah kampung.

Eka Budianta, penyair, anggota Dewan Pakar Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) mengatakan dalma endorsementnya:.

"Modal utama untuk menjadi penyair adalah keberanian dan ketulusan hati. Kedua hal ini sudah dimiliki oleh Khoer Jurzani, sehingga puisi-puisinya layak dibaca dan dihargai. Untuk beberapa hal, kita boleh merasa cemburu, karena ia berani mengatakan hal-hal yang sangat telak. Semoga keberanian dan ketulusan hatinya ini disempurnakan dengan niat baik dan semangat yang positif untuk memelihara dan memperindah kehidupan. Hal ini tidak hanya tergantung pada kemampuan penulisnya, tetapi juga respons yang positif dari para pembacanya. Selamat berkarya, selamat merenungkan sedalam apa cinta kita pada orangtua, seperti yang diisyaratkan oleh Khoer Jurzani."

Sebenarnya, siapa gerangan Khoer jurzani? Anda bisa mengetahuinya langsung setelah membaca buku ini.

Jika tertarik memiliki buku puisi Senter Adam Kaisinan, silakan pesan via SMS ke 085723333590 (Khoer Jurzani)  atau inbok Facebook dengan format: Nama, Alamat Lengkap, Judul Buku yg dipesan, Jumlah pembelian. Lalu nanti buku bianglala akan mengkonfirmasi ongkos kirim ke alamat teman-teman. Karena, seperti yang dibilang Khoer, buku ini masih tersedia secara online.

Salam.

Rabu, 04 Juli 2012

MENULIS PUISI DAN HAL-HAL TAK TERDUGA DI DALAMNYA

Menulis Puisi Bagi Saya Adalah Bercerita

Kisah  si  Cabe Merah

Ini hari terakhir cabe merah menjadi penghuni kamar kontrakan di bawah pasar gudang kelabu. Lantai papan serta dindingnya yang ditempeli Koran akan menjadi kenangan. Juga lampu lima watt yang menyala terang. Pada dinding cabe merah mengeluh pusing. Kepala lonjongnya berdenyut-denyut, daun kuning kering terbakar matari sukabumi telah lama melepuh, orang-orang mengiranya dari nusatenggara, orang sunda kulitnya putih-putih, kamu seperti orang Indian berkulit merah. Kurus batang tubuhnya merupakan mahakarya dari Allah Swt. Tidak boleh ada yang menghina. Perutnya mual. Mungkin aku hamil. Bisik cabe merah pada dinding. Tapi tidak ada sejarahnya cabe merah dibuahi cabe keriting. Udara yang tidak segar menyentuh daun pipinya. Aku tidak boleh mati dengan gegabah. Cabe merah ingin mati tatkala shalat tahajud biar khusnul khotimah. Di kuburan pasti sangat gelap, tapi setidaknya ada malaikat yang akan menemaniku, malaikat yang akan melayaniku. Hihihi. Cabe merah terkikik. Tapi bagaimana kalau yang datang adalah malaikat jabaniah. Ini hari terakhir cabe merah di kamar kontarakan. Ia tidak ingin berduka hati. Sambil menghadap kiblat kaum lusuh cabe merah kencing. Mengalirkan bosan ke sungai hitam. Aku merindukan bunga pete juga susukan tempat dulu menangkap hurang. Kampung halamanku indah permai di kaki gunung salak. Ada banyak air terjun. Sawah dan hutannya ranum.

Aku dan ibu sering mengambil kayu bakar, juga ngundeur jotan. Bersama  teh Iis aku senang ngala tutut, unil dan ikan-ikan kecil. Kabarnya teh Iis sudah punya dua bayi. Aku masih menggelandang kian kemari. Waktu kecil aku nakal sekali, sudah besar bertambah nakal. Aku pernah mengencingi kasur mama. Pernah hendak bunuh diri ke jurang, kabur dari rumah sembunyi di tepi sungai bertilamkan daun-daun dicari orang sekampung. Gemetar ketakutan dalam peluk ibu ketika seorang kerabat mengacungkan golok hendak memenggal kepala ibu, beruntung nenek yang masih hidup menahan kerabat itu. Kerabat yang sekarang sudah jadi ustadz, bagiku, masa lalu itu semacam memorial yang terpancang di tengah lapang. Sangat tinggi. Sangat besar. Kemana pun pergi memorial yang bagai menara katedral itu terlihat.cabe merah menggelinding dengan baju lusuh. Rukuk dan sujud di antara tukang sayur dan jengkol. Pabila lelah ia tidur di beranda mushola. Pabila lapar ia membuat satu puisi cinta. Membacakannya di depan waria yang mangkal di rel kereta. Berharap selembar-dua lembar ribuan untuk dibelikan gorengan. Aku cabe merah kesepian.

Perihal Kata yang Menggema Dari Tempat Gulita

            “Dan telah kami jadikan (Isa) putra maryam beserta ibunya suatu bukti yang nyata bagi (kekuasaan kami), dan Kami melindungi mereka di suatu tanah tinggi yang datar yang banyak terdapat padang-padang rumput dan sumber-sumber air bersih yang mengalir.” (Qs. Al-mu’minun:50)

Rumput ialah tumbuhan yang lekas tumbuh lekas hilang juga, sifatnya tidak tetap, ia tumbuh di mana pun ia suka, tanpa perlu susah-susah orang menanamnya, seringkali diinjak-injak, dibakar, dijadikan pakan ternak, anehnya rumput selalu tumbuh dan tumbuh lagi, di tempat kering maupun sejuk. Ia jenis ilalang yang berbatang kecil, banyak jenisnya, batangnya beruas, daunnya sempit panjang, bunganya berbentuk bulir dan buahnya berupa biji-bijian. Dalam kitab suci enam kali Allah menyebut rumput-rumputan dalam firmanNya. Bahkan dalam surat Al-a’la dua kali berturut-turut Allah menyebutnya. Dan yang menumbuhkan rumput-rumputan, lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitaman-hitaman (Qs.Al-A’la:4-5) dalam surat Shad ayat 44 Allah swt. menyuruh Nabi Ayyub menggunakan seikat rumput sebagai senjata. Dalam surat lainnya dengan sangat indah Allah menganalogikan kehancuran kaum samud  seperti rumput-rumput kering (yang dikumpulkan) oleh yang mempunyai kandang binatang (Qs. Al-Qomar:31)


Tidak salah apabila Widji thukul si penyair kaum pergerakan yang sampai kini entah dimana keberadaannya itu, menganggap rumput lebih kuat dari apa pun, dari tembok dan puncak menara gading licin dan gemerlap dengan cahaya.  Disadari atau tidak, ternak mereka tidak akan hidup tanpa makan jenis rumput-rumputan, padi-padian. Pun si burung merak Rendra, dengan gagah dan lantang ia bersuara, alang-alang dan rumputan/bulan mabuk di atasnya// (Serenada Biru) Di Indonesia, rumput menjadi koloni yang diagungkan pada masa Sukarno, berganti kekuasaan, rumput kian terabaikan bayang pohonan yang tinggi menjulang: nyiur melambai, kayu jati, gedung-gedung pencakar awan.


Rumput tercatat dalam kitab suci. Saya tidak tahu di surga ada rumput atau tidak, tapi dalam puisi, dalam ranah susastra kata-kata berkali-kali menggema dari sebuah tempat paling gulita yang tertanam di dasar bumi. Mengakar. Menjeritkan kebosanan dan kesepian yang akut.

Cerita Lelaki Rumput di Padang Tundra

Sepi telah menjadi pengantin saya. Sungguh mengerikan apabila ini benar-benar menjadi sebuah ketentuan dari-Nya.  Apakah seseorang bisa mengelak dari takdir, dari ketentuan. Jika diperkenankan memilih, saya tidak ingin memilih menikah dengan sepi. Semua orang punya jodohnya sendiri, tapi kenapa sepi yang menjadi jodoh saya. Sepi yang paling mengerti saya. Akhirnya sepi membuahi saya (kami tidak pernah benar-benar menikah) akan tetapi tidak perlu menikah bukan untuk mempunyai seorang anak. Tidak perlu kawin terlebih dulu. Kalau Allah sudah berkehendak, Maryam perempuan suci pun bisa memiliki anak.

Anak-anak saya adalah puisi-puisi yang entah kenapa selalu saya pungkiri keberadaannya itu. Saya menolak menjadi sama. Semua orang melahirkan bayi manusia. Padahal kucing saja bisa melahirkan empat ekor dalam satu malam. Ini bisa dianggap sebagai wujud keputusasaan. Puisi lahir tanpa saya kehendaki. Sepertinya puisi memilih saya untuk tempat mereka lahir. Puisi yang banyak menghilang. Menjadi peradaban yang hilang. Sejak Mts saya sudah membukukan tulisan saya di sebuah buku tulis, sejak Paket C pun begitu, sejak tinggal di antara lalulalang kendaraan pun begitu. Kata-kata seperti rumput yang tumbuh seenaknya, hilang seenaknya. Saya tidak punya kebun atau ladang yang bisa menyimpannya. Saya bukan petani, saya pengembara, orang gifsi yang mencari peruntungan dengan meramal nasib orang-orang, meramal alam semesta sementara dirinya dibiarkan menggelandang dan kesepian. Terpuruk berlumut mengerak di dasar kolam paling jahat.

Puisi saya tidak indah, puisi saya tidak pernah saya kirim ke sekolah, ke tempat yang orang lain bilang Koran dan majalah. Apalagi menangkring dengan nyaman di salah satu rak buku di tengah kota. Berkali-kali saya mengingkari puisi, berkali-kali pula puisi menghampiri, mengajak bercanda, menari. Saya tidak berani membuat puisi, apalagi mengklaim diri sebagai seorang penyair, meski waktu kecil saya pernah berucap, bahwa cita-cita saya adalah menjadi pujangga, dan seorang teman mendoakannya, katanya, teruskanlah cita-citamu menjadi pujangga atau penyair, shobur mendoakan dan mendukungmu barangkali itu sebuah kutukan.

Saya tidak siap untuk mempunyai satu kumpulan, puisi terutama. Bagi saya, menjadi penyair itu sama sulitnya dengan menjadi manusia. Ia bukan hanya dituntut untuk pintar, tapi juga harus memiliki kepekaan dan rasa yang sangat kental. Asy-Syu’ara, Tuhan berfirman dalam kitab sucinya, tentang Asy-Syu’ara, Para Penyair. Menjadi satu surat panjang berkisah mengenai para Nabi serta peringatan kepada penyair-penyair. Menjadi penyair tidak boleh main-main. Maka dari itu saya lebih senang menyebut diri saya rumput, lelaki runput. Hidup tanpa dibatasi pagar dan apa pun keadaan.

Saya terharu membaca tulisan Rilke dalam suratnya untuk penyair muda
Barangkali memang sudah merupakan panggilan bahwa kau harus jadi seniman. Maka terimalah takdirmu itu, tanggungkan naik bebannya maupun kebesarannya, tanpa minta-minta penghargaan dari luar dirimu. Karena seorang pencipta haruslah menjadi sebuah dunia bagi dirinya sendiri, dan menemukan segala-galanya di dalam dirinya sendiri, serta di dalam Alam tempat dirinya berada.
Namun setelah masuk ke dalam diri dan  ke  dalam  kesendirianmu,   mungkin kau harus melepaskan keinginanmu untuk menjadi penyair; (bagi saya, seseorang bisa hidup tanpa harus menulis daripada samasekali berspekulasi untuk itu). Meskipun demikian, upaya memusatkan perhatian ke dalam diri sendiri yang kuanjurkan itu, tidaklah sia-sia. Bagaimanapun juga hidupmu sejak itu akan menemukan jalannya sendiri. dan kuharapkan hidupmu menjadi baik dan kaya serta tinggi pencapaiannya lebih dari apa yang bisa aku ucapkan.

Akhirnya aku ingin menasehati agar mau menumbuhkan dirimu secara serius. Serius sahabatku.jika memang benar apa yang Rilke bilang sebagai sudah merupakan panggilan bahwa kau harus jadi seniman. Maka terimalah takdirmu itu. Maka sudah seharusnya aku serius dengan apa yang sudah digariskan.

Rumput di padang tundra tidak pernah serius dengan hidupnya. Tapi ia serius dengan pilihannya. Ia tidak ingin mengecewakan amanah yang sudah orang-orang embankan padanya. Kuliah, mengaji, menulis, membaca, mengajar. Ya itu adalah mimpi saya. Saya bangga menjadi guru. Ya guru. Apa pun tantangannya akan saya lewati. Menjadi guru, menjadi mahasiswa, menjadi santri, aktivis, seniman, penulis. Sebentar, saya ingin tertawa terlebih dulu, apa rumput boleh menjad guru? Kalau pun tidak boleh tidak apa, saya akan mengajar dengan bahasa saya sendiri, bahasa rumput, menjadi mahasiswa bagi semesta saya. Menuliskan apa yang saya rasa, apa yang membuat saya sedih dan senang karenanya.

Hidup tidak lain sebuah labirin. Kita tidak tahu apa yang akan kita temui di balik gang, di balik tikungan dan kebosanan. Saya tidak pernah mengira bisa diundang ke acara Majelis sastra Asia Tenggara, bersua dengan penyair dari Malaysia, Brunei dan para pendekar sastra! Ini undangannya langsung dari kementrian. Sebelumnya saya juga tidak pernah mengira bisa bertemu dalam satu buku dengan penyair muda jawabarat terkini dalam antologi puisi 64 Penyair jawabarat terkini, di kamar mandi , acara lounchingnya berlangsung meriah di Cibutak-Bandung.

Sebelumnya rumput pun tidak pernah mengira dapat mengisi acara Penyair Muda Bicara di Gedung Dewan Kesenian Cianjur, pun menjadi dewan juri lomba membaca dan menulis puisi, menjadi pembicara di SMA satu Cianjur, berdiskusi dengan mahasiswa Bahasa dan Sastra Universitas Muhammadiyah Sukabumi, padahal SMA formal pun saya tidak merasakan, sekarang saya menjadi pengajar bahasa Indonesia di SMA! Sebuah keajaiban kalau tidak bisa dibilang sebuah mukjizat. Saya sangat bersyukur masih bisa diberi kepercayaan menghirup udara dan tinggal di bumi-Nya. Satu tahun kuliah Tarbiyah membuat pemikiran saya terbuka. Ilmu ke Islaman ternyata luas adanya, belum lagi ilmu ke Islaman di pondok-pondok salafi, meski saya kewalahan dalam ilmu eksak dan menghapal, juga berhitung, bahasa arab-inggris dan sebagainya, saya mencoba untuk tidak menyerah. Saya menyukai mata kuliah ilmu tafsir, filsafat, psikologi. Saya menyukai kesendirian dan keramaian sekaligus. Saya mencintai dan menyayangi apa yang Ia titah dan apa yang Ia bilang tidak boleh. Sekaigus. Saya adalah tukang sortir, saya bisa sebenarnya memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Tapi kembali lagi, saya selalu mengedepankan rasa.

Riwayat Rumput
           
Saya berasal dari keluarga rumput, keluarga babu, pembantu. Nenek saya sampai kini masih bekerja sebagai tukang cuci di rumah-rumah orang tionghoa kaya. Ibu kandung saya sempat kabur dari majikannya, loncat dari loteng karena dikunci dari luar kamar tidur dan tidak boleh menunaikan shalat, tanpa membawa uang kemudian naik angkutan metropolitan, bisa pulang ke kampung karena derma dari penumpang angkutan. Kakak perempuan pertama saya menjadi pembantu rumah tangga  ketika ia kelas empat sekolah dasar. Kakak laki-laki kedua saya sempat bekerja di took onderdil motor kemudian menikah dengan seorang janda kemudia cerai dan kini bantu-bantu bapak bekerja di gudang menyortir sampah. Kakak ketiga sayahanya lulusan sekolah dasar, kemudia kursus menjahit tidak selesai dan melanglang buana sebagai pembantu rumah tangga di berbagai kota sebelum akhirnya pulang ke kampung untuk mengaji dan menemukan jodohnya, seorang ustadz, namun dengan tiga anak tiri. Setelah dikarunia anak perempuan, suami kakak saya meninggal, kini ia kembali bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta setelah diusir anak-anak tirinya.

Bahkan ibu tiri saya pun adalah mantan TKW di arab Saudi, buruh migran. Membeli rumah di pinggir rel kereta di Sukabumi, bertemu bapak yang waktu itu bekerja sebagai tukang becak, yang waktu itu masih berstatus suami sah ibu saya yang tinggal di Bogor. Bapak saya menikah lagi. Anak-anak bertebaran seperti tetes hujan di hari menjelang siang.

Tidak ada darah seniman dalam diri saya. Saya memang aneh sendiri. Ketika semua saudara saya menikah dan mempersembahkan cucu bagi bapak dan ibu, saya malah asyik menggelandang dengan buku-buku susastra dan pikiran saya. Saya mencintai puisi, tapi bibir saya kelu kalau disuruh mengaji, padahal di masyarat, lebih penting seorang yang pandai mengaji daripada yang pandai membaca puisi. Hidup saya benar-benar hancur. Tapi saya benar-benar bahagia. Benar-benar beruntung. Dalam kesepian saya tertawa dan menangis.

Saya bersyukur dipertemukan orang-orang baik hati lagi berbudi. Terimakasih. Mimpi apa saya bisa mempunyai antologi puisi tunggal yang digarap pemenang Khatulistiwa Literary Award? Digarap para seniman hebat. Saya pun ingin menjadi hebat. Seperti mereka. Seperti para pujangga sebelumnya. Yang diabadikan dalam kitab tua. Meskipun awalnya saya lebih percaya diri ketika menulis cerita dan ocehan-ocehan rumput liar. Tapi kalau sepi telah membuahi saya, lalu lahir anak-anak puisi dari rahim saya, mau apa, saya harus menerima ini sebagai takdir.

Mengenai Senter Adam Kaisinan dan 61 Puisi yang Menunggu Takdirnya
           
Senter Adam Kaisinan menjadi buku puisi pertama saya, saya sangat senang manakala bapak yang baik hati menegur saya dalam pesan singkatnya karena saya yang berkesan nrimo apa saja yang akan terjadi dalam itu buku puisi, kata beliau, ini buku saya yang pertama, harus ketat baik di pengantar ataupun diksi, hehehe. Ya tahun lalu saya sempat keguguran karya, mau bikin buku tapi selalu tidak jadi. Secara tidak terduga Senter Adam Kaisinan ini pun lahirlah ke dunia. Berisi 30 puisi hasil menyuling dari saripati kehidupan dan sebuah perjalanan panjang. Di dalamnya saya bercerita macam-macam. Mulai mitologi sampai ke kehidupan sehari-hari. Dari kucing sampai cacing, dari biji sesawi sampai Nyi pohaci. Meski saya lama sekali hidup di daerah pinggiran perkotaan, tapi saya tidak bisa melepaskan sejarah, bahwa saya pernah menjadi anak kampung yang sehari-hari bermain dengan lumpur. Teman saya, penyair Lutfi mardiansyah bilang dalam reviewnya mengenai buku saya, katanya puisi saya ialah puisi dengan aroma padi. Saya tidak mau durhaka pada masa lalu saya. Memang benar, dalam satu puisi berjudul Sumur Bandung saya cantumkan mantra yang pernah singgah dalam kehidupan masa kanak saya, badagna, lembutna abid uwih , mantra yang diucapkan setelah selesai mandi di kali agar tidak diganggu lelembut. Meski saya sadari, mitologi dan tradisi dalam puisi saya tidaklah sekental kesepian dan dongeng-dongeng yang memang sudah lama menjadi obsesi saya. Betul kang Kang Mugya Syahreza santosa dalam esainya yang berjudul, lelaki dan lemari puisi, yang mengatakan saya terobsesi dengan sayap, malaikat, hantu-hantu.

Tradisi dan mitologi saya jadikan setting berkisah, siluet yang sesekali terlihat. Saya bercerita mengenai saya yang kini, yang masih kental dengan ketakutan-ketakutan, lemari puisi saya kedodoran, banyak kata tidak beraturan di dalamnya, yang coba saya sortir, dalam arti sebenarnya, saya memang tukang sortir di gudangpenampungan barang bekas. Dalam puisi Adam Kaisinan, diawal bait saya cantumkan Mantra memandikan jenazah suka Baduy, Kenekes-Banten diambil dari buku Kesusastraan sunda. BP 1948 Hal.36, Adam Kaisinan ialah Mitologi dari suku baduy, di mana Adam yang merasa berkuasa atas dirinya serta tidak percaya akan zat yang menciptakannya berubah wujud jadi pegunungan Kendeng di Banten Kidul, berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Sementara ruh Adam kaisinan menjelma jadi raja ular batara nagaraja.
Para ahli masih memperdebatkan apakah Adam kaisinan dalam mitologi Suku Baduy adalah Adam yang juga salah satu Nabi dalam Agama Syamawi.
           
Yang saya sukai dari buku puisi ini ialah tema dan tempat ketika saya membuat puisi ini yang beragam. Ada beberapa puisi yang saya buat hingga harus guling-guling, memeras perasaan dan pikiran, juga melongok pada kenangan, mencari referensi bacaan, seperti puisi Adam kaisinan, Minyak Telon Ibu, Nyi pphaci, nenek memintal awan, kapulaga, ada juga beberapa puisi yang lahir tanpa ada kesulitan berarti, seperti bayi yang lahir kedua dengan lancar. Sepeti puisi, Hantu penjaga pagi, yang saya tulis malam-malam selepas isya di warnet, terinspirasi dari twitternya seorang penyair berita Metro TV, jemari saya bergerak tanpa beban apa-apa, kemudian jadilah itu puisi. Dalam puisi yang berjudul Berhenti, pun kejadiannya sama, puisi tersebut saya dedikasikan untuk penyair dari eropa, Attila, waktu itu saya sedang gelisah karena sebagai penulis kok saya tidak bisa menghasilkan apa-apa, saya berpikir, apa saya harus berhenti ? Puisi berjudul bunga ashar saya saya tulis di Kampus setelah Ospek, setelah saya berstatus mahasiswa, puisi Sayap Kenangan, saya tulis di sanggar Komunitas Sastra Cianjur, puisi Balon Ibu saya tulis di Selabintana, Puisi Madah Pendosa saya tulis di dalam pekat gudang, puisi Kamboja saya tulis ketika masih di sukabumi, kemudian saya edit dan jadilah puisi Kamboja yang sangat disukai oleh sobat saya dari Batam, puisi Kucing 1 dan kucing 2 saya benar-benar tulis karena disamping saya meringkuk seekor kucing, menemani kesendirian saya di dalam gudang kehidupan.

Selain puisi dalam buku Senter Adam Kaisinan, yang cover bukunya sangat mistis, indah sekaligus surealis, masih ada 61 puisi yang menunggu takdirnya, yang saya rapikan dengan judul Aku Ingin Pergi ke Rusia, kerinduan saya pada sosok ibu, rasa sakit dan perih menanggung cinta yang tak kesampaian, obsesi saya pada kehidupan kaum marginal, onani, Indonesia, serta keinginan saya mengunjungi satu tempat bernama Rusia, saya tuangkan dalam buku yang masih menunggu takdir untuk lahir.

Akhirul kalam, saya mengucapkan terimakasih banyak kepada semua yang berkenan menemani dan memberi tumpangan hidup buat saya. Terimakasih
           
Senja menenggelamkan rupa. Malaikat-malaikat sibuk membagi buku amalan baru, setelah selesai mengambil catatan lama dan membawanya ke langit dengan putih helai sesayap cahaya. Rupaku penuh bercak. Sebelum Yasin berderai nanti malam, mohon maaf atas segala khilaf.

(Khoer Jurzani-Bapak Guru di SMA SPelita YNH Sukabumi, Mahasiswa STAI All-Azhary Cianjur, tukang sortir sampah di gudang, lelaki rumput dan calon peraih Nobel Perdamaian) Buku puisinya yang akan terbit ialah Senter Adam Kaisinan, bisa dipesan dari sekarang via  Facebook : Buku Bianglala

Sabtu, 14 April 2012

Monolog Angsa



Sesungguhnya, anak-anak adalah penghuni surga, mereka tidak pernah meminta dilahirkan ke dunia. sebab dunia hanya akan membuat mereka penuh noda dan cela. (Ririe Rengganis)

Buku Kumpulan Cerita Pendek dan Puisi tentang anak-anak yang terlukai hatinya ini ditulis oleh 17 penulis, diterbitkan penerbit Tuas Media. Tebal 120 halaman, dengan harga 25 ribu.

Yang berminat memiliki, bisa menghubungi penerbitnya langsung, no ponsel: 087815594940 (Tuas Media)

Berisi kisah-kisah tragis dari anak-anak Broken home, anak-anak yang tidak bahagia dalam keluarga. Serta puisi yang mengetuk nurani kita agar peduli pada anak-anak di dunia.

Bunda, terima kasih untuk kelahiranku di dunia. Semoga karmaphala mempertemukan kita dalam situasi yang lebih baik di kehidupan yang akan datang. Aku menyayangimu, mencintaimu, sangat. Kini kubebaskan Bunda dari jeratan yang mungkin sangat menyesakkan sejak aku datang pada kehidupan Bunda dan Ayah. Kumohon, tersenyumlah. (Potongan Cerpen Monolog Angsa-Lyla Nur Ratri)

Mungkin kau yang satu hari menjelma layang-layang itu, entah pula aku. Yang pasti seutas benang begitu setia menemaninya walau ia tak terlihat dan orang-orang hanya membanggakan sebuah kertas dan lidi yang mampu terbang tinggi, pada suatu hari seharusnya kertas itu akan sadar ia bukan layang-layang jika tanpa seutas benang. ( Ibuku, Layang-layang Bertubuh Kuning
Oleh: Yessy AF Sinubulan )

Ibu, tersenyumlah untukku, untuk hari-hari yang berhasil aku lewati. Tinggal di kamar kontrakan membuatku seolah menjadi rumput kering yang liar, maafkan anakmu, Ibu. Mau bagaimana lagi, semuanya sudah terjadi, tragedi itu, aku tidak bisa berbuat apa-apa, tragedi yang menyisakan sesal, tertoreh demikian dalam.
Tujuh belas tahun adalah waktu yang cukup lama untuk semua kebosanan dan keresahan. Tapi juga terlalu singkat untuk semua kebersamaan dan kehangatan yang kukecap dulu bersamamu.
Ibu, di manakah aku dapat menemukan langit biru yang serupa matamu? Agar air mata yang tertumpah memperoleh ruang untuk bernaung. (Neng Kokom Menolak Jadi Ibu Oleh: Khoer Jurzani)

Senin, 06 Februari 2012

Menangkap Capung

Sore hari, waktu saya masih kecil, saya senang menangkap capung yang terbang di antara rumputan yang tumbuh di sepanjang jalan kereta api. Rumah saya berada di depan rel kereta. Sore hari adalah saat paling menyenangkan untuk main. Kalau tidak bermain kasti, bermain galasin, layangan, pasti saya lari-lari di atas kerikil rel menangkap capung. Kalau tidak menggunakan alat seperti lamit, atau kantong plastik yang diikat pada lidi, atau menggunakan lidi yang ujungnya sudah diolesi getah, biasanya getah nangka, saya tidak akan bisa menangkap satu pun capung. Yang paling susah itu menangkap capung berwarna merah, capung berwarna kuning juga susah ditangkap sebenarnya, yang paling mudah itu capung berwarna hijau. Karena itulah, suatu kebahagiaan, atau kebanggaan? tersendiri manakala saya dan teman-teman yang ikut menangkap capung, dapat memperoleh capung berwarna merah. Padahal kalau dipikir-pikir, untuk apa capung? Lebih bagus menangkap belalang, setidaknya belalang bisa dibakar, atau menangkap ikan di sungai.Bagi saya, menangkap capung itu sangat seru. Meskipun, ketika sudah memperoleh banyak capung, yang lalu saya masukkan ke dalam katong plastik, capung-capung hasil tangkapan itu tidak bisa diapa-apakan lagi. Saya pernah sangat menyesal karena membiarkan capung hasil tangkapan saya mati kehabisan napas. Paling seru itu kalau dapat satu ekor capung lalu ekor capung itu diikat dengan tali rapis kecil, lantas biarkan capung itu terbang, dengan kita memegang kendali seperti merentang benang layang-layang, eh ini jangan ditiru ya, ini sama saja dengan penyiksaan makhluk Tuhan.

Menangkap mimpi, apalagi menangkap orang yang kita sayangi, bagi saya sama saja dengan menangkap capung. Butuh ketekunan dan keberuntungan. Sesuatu yang ingin sekali kita tangkap, setelah kita mendapatkannya, kita akan merasa sangat bahagia, bangga. Meski kadang, setelah kita mendapatkannya, kita bingung akan bagaimana dan mau apa.

Ah, kalau saja menangkap mimpi, menangkap dia atau DIA, sama mudah dan sama menyenangkannya dengan menangkap capung manakala masih kecil.