Jumat, 17 September 2010

Aku bukan kambing pak!

Aku awali tulisan ini dengan sebuah puisi:

Ah, bapak
Bapak!
Aku tak butuhkan sesuatu
Dari dunia
Aku hanya butuhkan
Orang-orang tercinta
Hati-hati yang terbuka, senyum tawa
Dan dunia
Tanpa duka
Tanpa takut
(Pramudya ananta toer, Gadis pantai)

Bapakku pohon cemara

Aku mencintai bapakku sebagaimana aku menyayangi dan menghomati ibu. Namun seringkali aku tidak bisa mengutarakan rasa sayangku kepada keduanya dalam sebaris kata ataupun suara. Karena bagiku, bapak adalah sepohon cemara tua di tengah hutan belantara. Aku tahu bapak dan ibu menyayangiku, meski dalam mengungkapkan rasa sayang kapada anak-anaknya acapkali membuatku menjadi seekor kambing kecil yang tiap hari di beri makan, uang, di gembalakan di tengah padang, merumput lalu pulang ke kandang begitu senja datang.

Hanya bola mata serta kulit kami yang serupa. Cokelat dan kusam. Tidak bening layaknya embun di daun-daun. Selebihnya kami berdua bagaikan dua kutub magnet yang saling berseberangan. Aku tidak mempunyai fisik yang kuat seperti bapak. Tubuhku kecil, kurus dan tidak kuat jika mengangkat beban berat. Aku lebih senang menghabiskan waktu dengan berlembar-lembar novel Pramudya ananta toer atau john grisham di kamar hingga lupa waktu makan. Sementara bapak lebih sering menonton acara sepak bola di televisi. Aku lebih memilih membelanjakan uang saku yang aku punya untuk membeli buku dan balpen ketimbang mainan atau sebungkus rokok seperti bapak. Dan waktuku lebih banyak di habikan di perpustakaan umum dari pada membantu bapak beres-beres barang bekas di gudang.

Dari dulu bapak adalah cemara hutan yang tegar. Perkasa dalam kesunyian. Hari-harinya di habiskan bersama angin dan hujan. Jarang sekali kami bertegur sapa apalagi berbincang panjang. Terlebih setelah cemara hutan memutuskan meninggalkan rembulan yang selama ini ku panggil ibu. Bapak pergi ke pelukan sekuntum mawar segar di taman.yang juga ku panggil dengan sebutan ibu. Ibu tiri. Ah, betapa menyedihkannya sebutan itu kini. Sementara aku, si kambing kecil, semakin larut dalam duniaku yang hanya aku sendiri yang tahu. Aku lupa jika di tengah belantara hutan masih ada sebatang cemara yang rindang.

Tak ada yang perlu aku sesali

Aku sempat begitu marah, pada ibu yang meninggalkanku begitu saja dirumah kakek dan nenek dari pihak bapak di Sukabumi tanpa sepatah kata pun. Meninggalkanku yang terisak begitu mengetahui jika ibu sudah pergi ke Bogor, tempat kelahiranku. Mestinya aku curiga ketika ibu tiba-tiba mengajakku ke Sukabumi mengujungi kakek dan nenek mestinya aku bisa mengejar langkah ibu kalau saja kakek dan nenek tidak menghalangi jalanku. Saat itu Tangisku baru reda begitu bapak tiba mengajakku menemui ibu yang baru. Kawan, waktu itu aku baru berusia delapan tahun.

Dan aku sempat begitu kecewa, pada bapak yang menyuruhku berjualan asongan di pasar begitu aku lulus dari madrasah Tsanawiyah. Tidak ada yang bisa ku perbuat. Aku hanyalah seekor kambing kecil yang patuh saja apa kata orangtua. Padahal di dalam hati aku ingin sekali melanjutkan studi ke SMA. Bapak telah benar-benar menganggapku sebagai seekor kambing kecil yang tidak butuh pendidikan rupanya. Aku masih ingat, ketika dulu aku mengutarakan keinginanku untuk belajar di madrasah Diniyah , dan jawaban yang aku dapat dari ibu adalah hanya menambah uang jajan saja katanya. Lalu ketika aku mengutarakan keinginanku untuk menimba ilmu di pondok pesantren, lagi-lagi jawaban yang aku peroleh dari ibu adalah, disini saja shalatnya masih malas bagaimana mau jadi santri? Tidak ada yang bisa ku mintai tolong. Kakak-kakakku yang lain sudah lebih dulu mengalami kejadian serupa seperti ku. bahkan kakak perempanku hanya bisa menamatkan sokolah dasar. Padahal ia adalah siswi berprestasi di sekolahnya. Seharusnya bapak yang berwiraswasta jadi Bandar rongsokan itu menyediakan anggaran dana pendidikan untuk masa depan anak-anaknya, tidak melulu membelanjakan uang untuk makan sehari-hari saja.

Sekarang sudah tahu bukan, jika di rumah aku tidak lebih dari seekor kambing kecil yang tidak punya hak mengutarakan pendapat. Sungguh tidak demokratisnya keluargaku. Semakin hari aku semakin penat dengan suasana rumah. Sementara di dalam hatiku, aku masih berharap suatu saat bisa meneruskan sekolah.

Ketika itu, di bulan juli 2003, ketika semua anak-anak sekolah masuk ke kelas baru dengan seragam dan teman-teman baru, aku malah hilir mudik di pasar. Jualan asongan.

Aku mungkin bukan pedagang asongan
Yang pergi pagi pulang petang
Bahkan sampai malam
Tiap hari menyusuri jalanan kecil
Di tengah ramainya jiwa-jiwa lapar
Berbekal sepasang kaki yang tak henti mencari:
Cita,
Asa

Disini mungkin aku hanya berniat membuang waktu
Sambil berharap jualanku cepat laku
Cepat membeli mimpi yang lama
Terpajang di etalase puisi.
Sukabumi, 2004.
Pak, tahukah engkau, aku bukanlah kambing yang bisa kau gembalakan sesuka hati.
 
***

Aku sempat berpikir, kenapa aku tidak dilahirkan sebagai kambing? Setidaknya, jika aku betul-betul seekor kambing tentu sekarang bapak bisa menyembelihku agar dagingnya bisa dijual kepasar atau mungkin di jual buat hewan kurban, atau bisa juga bapak membuat sebuah peternakan kambing! Aku sendiri tidak mengerti, sebenarnya apa alasan orang tua melahirkan dan membesarkan anaknya? Jika alasannya ingin memperbaiki keturunan kenapa aku tidak lebih baik dari bapak yang seorang pekerja keras? Aku curiga, jangan-jangan mereka tidak mempunyai niat baik dalam membesarkanku. Buktinya kedua orang tuaku mengabaikan asupan gizi bagi kemajuan intelektualitas dan spiritualitasku. Bahkan untuk menitipkan aku ke sekolah atau pondok pesantren pun mereka malas melakukannya. Kalau saja bapak dan ibu kandungku masih hidup bersama. Ah, hal itu tidak patut di sesalkan memang, namun yang aku pertanyakan sampai sekarang adalah, aku harus mecontoh pada siapa? Aku tidak punya sosok panutan yang baik di rumah.

Alhamdulilah, diawal tahun 2004 seorang teman mengajakku untuk belajar di kejar PAKET C atau setara SMA Pusat kegiatan Belajar Masyarakat ( PKBM). Dan saat itu pula aku sudah tidak betah tinggal di rumah lalu memutuskan tinggal di rumah kakek dan nenek. Sambil sekolah aku nyambi kerja apa saja. Jualan rokok, sales, jadi tukang kredit pakaian, buruh pabrik, sampai jadi penjahit di kompeksi. Dan selama itu juga aku tidak pernah berhenti menulis lalu sempat juga bergabung di Forum Lingkar Pena Sukabumi.

Adakah moment indah?

Aku lupa, apakah aku mempunyai momen yang indah bersama bapak. Ketika aku di tampar karena berkelahi dengan anak tetanggakah? Atau ketika bapak membenarkan letak sarungku yang melorot saat shalat jumatan bersamanya waktu kecil dulu? Entah. Aku sendiri lupa. Tapi bagaimanapun juga , ada momen yang indah atau tidak, bapakku adalah penyumbang dana subsidi terbesar dalam hidupku! Haha! Tatkala tidak ada seorang pun saudara yang yang sudi memberikan bantuannya pada seekor kambing kecil sepertiku, bapak, dengan segala keterbatasannya, sangat berperan bagi perekonomian ku yang saat itu sebagai remaja tanggung masih bingung melihat dan memaknai hidup. Apalagi di tambah dengan emosi yang sangat labil. Mudah tersingung, marah, dan mudah terpengaruh pergaulan bebas ala remaja kota. Meski tanpa perhatian yang berarti, setidaknya bapak selalu memberiku uang untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari meski aku tidak pernah memintanya. Pada saat aku memerlukan uang untuk modal dagang, tanpa banyak bicara bapak memberikanku modal seadanya. Pada saat aku diam-diam tinggal di pondok pesantren, bapak pun memberiku bekal untuk membeli kitab dan segala peralatan yang aku butuhkan di asrama. Meskipun tidak lama aku tinggal di asrama, karena bapak terlanjur menyuruhku untuk bekerja bersama saudara di Cianjur.

Bapak, tersenyumlah padaku

Suatu hari, di sebuah gedung kesenian cianjur, aku bertemu dengan penyair muda. Darinya aku memperoleh pencerahan tentang hubunganku dengan orang tua khususnya dengan bapak.

“Puisi itu bukan hanya kata-kata indah penuh makna dan ribet. Puisi bisa dengan mudah kita dapati di mana saja. Di tootoar, di rumah , di hutan, di manapun kita berada, pasti akan kita dapati bait-bait puisi berserakan. Kita tinggal memungutnya saja. Pengemis di jalan adalah puisi, bencana alam adalah puisi, yang di lakukan bapakmu adalah puisi. Puisi kehidupan. Jadi tidak usah jadi penyair jika dengan hidup saja kita tidak bisa berdamai”. Kata sang penyair padaku.

Ya, biarlah. Meski aku dianggap seekor kambing kecil oleh bapak, namun aku harus berusaha membuktikan pada semuanya jika aku bisa menjadi seseorang yang hebat dan bermanpaat. Bukan sekedar kambing hitam atau kambing congek. Berdamai dengan hidup. Mungkin itu intinya. Entahlah.

Bapak,tersenyumlah untukku. Untuk hari-hari yang berhasil aku lewati. Semua berjalan seperti biasa. Matahari dan embun di daun-daun senantiasa iringi langkah kakikku saban pagi. Meski semua selalu berakhir sunyi.
 
Bapak, tinggal sebatang kara membuatku seolah menjadi rumput kering yang liar. Berjalan tanpa naungan dan arah membuat hari-hariku terasa payah.
Bapak, dimanakah aku bisa menemukan langit biru yangh serupa matamu, agar air mata yang tertumpah memperoleh tempatnya berteduh.

Cianjur, 14 januari 2009
 

0 komentar:

Posting Komentar