Sabtu, 05 November 2011

TIGA SAJAK KECIL



/1/

Pada suatu pagi hari
seorang gadis kecil
mengendarai selembar daun
meniti berkas-berkas cahaya.

“Mau ke mana, Wuk?”
“Ke Selatan situ.”
“Mau apa, Wuk?”
“Menangkap kupu-kupu.”


/2/

Pada suatu siang hari
seorang gadis kecil
belajar menggunting kertas,
gorden, dan taplak meja;

“Guntingan-guntingan ini
indah sekali, akan kujahit
jadi perca merah, hijau, dan biru
bahan baju untuk Ibu.”




/3/


Pada suatu malam hari
seorang gadis kecil
menodong ibunya membaca cerita
nina-bobok sebelum tidur;

“Malam ini Puteri Salju,
kemarin Bawang Putih,
besok Sinderela, ya Bu
biar Pangeran datang menjemputku.”


-Dari kumpulan puisi Ayat-Ayat Api, Sapardi Djoko Damono



Gema Sastra

Hari sabtu di awal nopember kemarin komunitas sastra Cianjur melakukan invasi ke SMPN 1 Cipanas, untuk membacakan puisi. Berikut ini sebagian photo-photonya.














 


Rabu, 02 November 2011

Mawar Di Halaman Belakang



Special Tanks to: Ersin Kaplan

Di halaman rumah kami tumbuh bunga mawar yang indah, berdiri gagah seperti sebatang pohon. Warnanya merah jambu, memiliki mahkota bunga lebar serta batang yang kokoh. Dari arah kamar tidur aku dapat melihat mawar itu tumbuh, daun-daunnya yang kecil dan sedikit berduri bisa aku perhatikan setiap kali membuka jendela di pagi hari.
Aku rasa bunga mawar itu sudah tumbuh sebelum kami menempati rumah ini. Karena Mom tidak mungkin mempunyai banyak waktu untuk menanam apalagi merawat tanaman di pekarangan. Apalagi Daddy. Yang aku ingat, pada waktu kecil aku senang sekali berada di dekat pohon mawar seraya membaca buku mungil Beatrix Potter hadiah dari Daddy pada natal tahun lalu. Membayangkan menjadi Peter si kelinci kecil yang menyelundup di antara semak mawar.
Ya, pohon mawar itu sudah tumbuh ketika kami baru menempati rumah yang cukup besar di ujung jalan di pinggiran kota Sheffield. Sebelumnya kami tinggal di rumah bersama kakek dan anggota keluarga yang lain di pusat kota. Setelah kakek meninggal dunia di usia yang hampir seratus tahun, (menurut Daddy, keluarga kami memang beruntung dikaruniai usia panjang dan sehat, bahkan, masih menurut Daddy, kakek buyut kami ada yang usianya sampai lebih dari dua ratus tahun!  Entah, aku sendiri tidak yakin akan hal itu ) Daddy dan Mom mulai merasa tidak nyaman berada di rumah peninggalan kakek.  
 Mereka berpikir, rumah itu sudah tidak layak lagi dihuni. Kehadiran anggota keluarga lain itulah yang membuat Dad dan Mom memutuskan untuk pindah. Karena rumah peninggalan kakek tidak hanya dihuni oleh kami, melainkan oleh anggota keluarga dari bibi dan keluarganya, paman dan keluarganya, yang masing-masing mempunyai lima anak laki-laki, tiga gadis remaja, juga dua bayi yang setiap malam menjerit-jerit membuatku tidak dapat membedakan mana siang dan malam karena bising. Bisa dibayangkan bagaimana ramainya kehidupan kami waktu itu. Aku heran, kenapa usia keluarga kami relatif panjang, jika rumah yang hanya dua lantai itu ditempati oleh keluarga besar yang selalu ramai.
Beruntung,  Daddy mendapatkan rumah yang nyaman ini dari seorang kenalan di tempatnya bekerja. Katanya, dulu rumah ini dihuni oleh pedagang keturunan Turki, karena usaha mereka di Inggris mengalami kebangkrutan, rumah ini pun di jual dan mereka kembali ke Turki. Meski katanya di jual dengan harga yang tidak terlampau mahal, tapi Daddy yang hanya seorang pegawai rendah di kantor pos itu harus menambahkan uangnya dengan tabungan Mom yang bekerja paruh waktu sebagai penjaga toko cinderamata agar dapat membeli rumah yang nyaman ini.
Selain kursi,  peralatan rumah tangga dan beberapa foto keluarga, tidak ada yang berubah dari rumah ini. Di dinding rumah masih menempel kaligrafi berbahasa arab berbagai warna dan motif. Di kamarku, (akhirnya aku memiliki kamar sendiri, tidak berdesakan dengan para keponakan seperti di rumah kakek dulu)  sebuah karpet yang sangat halus terhampar di lantai. Membuat telapak kaki terasa hangat saat menjejak di atasnya pada pagi buta manakala musim dingin tiba.
Di seberang tempat tidur, ada sebuah jendela yang menghadap ke halaman belakang. Dari balik jendela inilah untuk pertama kalinya aku melihat pohon mawar berwarna merah jambu, menyemak seperti harum manis yang terlalu banyak di sebuah sudut pasar malam. Yang paling menyenangkan adalah  aku bisa melompat dari jendela untuk langsung menyerbu halaman belakang menuju pohon mawarku tanpa mesti berputar ke depan pintu. Pohon mawarku,  aku sudah merasa pohon mawar itu milikku dan aku harap orang yang pertama kali menanam mawar itu di halaman belakang tidak marah karena aku sudah mengaku-ngaku.
***

Aku tidak pernah mengira, jika mawar di halaman belakang  akan tumbuh sangat indah seperti sekarang, jika mengingat dulu, satu bulan setelah kami menempati rumah ini, Daddy dengan merasa berkuasanya merusak, memotong, dan hendak memusnahkan semua tanaman yanga ada di halaman belakang, termasuk pohon mawar kesayanganku. Apakah Daddy tidak tahu, jika di antara semak di bawah pohon mawar itu hidup Petter Rabbit dan keluarganya?
Ceritanya, waktu kami bertiga sedang menikmati hari libur bersama di ruang keluarga. Daddy yang sedang membaca koran hari minggunya tiba-tiba berseru.
 “Bagaimana kalau kita membersihkan halaman belakang,  nampaknya sudah banyak semak belukar tumbuh di sana!”
 “Bukankah dari pertama kali menempati rumah ini sudah kubilang, halaman rumah kita seperti hutan, kamu harus segera merapikannya sebelum hewan-hewan yang disembunyikannya mencelakai kita, Robert.” Ujar Mom, perhatiannya beralih dari televisi yang sedang ia tonton. semenjak bekerja paruh waktu di toko cenderamata, Mom jadi jarang menonton acara televisi, bahkan Talkshow Oprah Winprey yang menjadi tontonan wajibnya pun mulai ia tinggalkan, semua demi mengisi kembali tabungan Mommy yang terkuras. Beruntung jatah uang sakuku tidak berkurang, dan buku-buku bacaan pun masih terus bertambah tiap bulan, hanya makan malam kami saja yang terasa mulai membosankan. 
Mulai sekarang kita perlu menghemat Mark.” Kata Mom padaku ketika kami berbelanja di supermarket tempo lalu, seraya memasukan lima bungkus sereal, susu, dua botol saus, sebotol kecil mustard, tiga ekor salmon, beberapa botol minuman ringan, dan satu kaleng biscuit.
Mom senang ngemil biskuit kaleng sebelum tidur, padahal ia baru saja makan malam.
Apakah ini yang dinamakan menghemat Mom? Mommy tidak menjawabnya.
“Apakah kamu mau membantu membabat hutan di halaman belakang, Mark? “ Aku hanya menggeleng, tidak menghiraukan perkataan Dadd. Petualangan Petter Rabbit dan cerita-cerita Roald dahl lebih menarik bagiku. Aku hanya bilang begini ketika Dadd beranjak dari kursinya menuju gudang untuk mengambil perkakas guna membersihkan halaman belakang.
“Jangan sampai perkakas Daddy menyentuh pohon mawarku, Jangan sampai perkakas Daddy menyentuh pohon mawarku, ingat!”Aku sampai mengucapkannya dua kali.
Seharian,  mom menghabiskan waktunya di dapur, memasak untuk makan malam nanti. Aku dengan buku bacaanku di ruang keluarga sedang Dad dengan gunting tanaman dan perkakasnya di halaman belakang.
Setelah bosan dengan bacaanku, aku beranjak menuju halaman belakang, memastikan apakah gunting tanaman Daddy benar-benar tidak menyentuh semak mawar. Apa yang terjadi di halaman belakang? Acara membersihkan halaman yang aku kira hanya membersihkan semak belukar dan rerumput liar ternyata tidak lain adalah arena pembabatan hutan.
“Semua tanaman Daddy tebang!” Aku berteriak begitu mengetahui pohon mawarku telah menjadi korban kekejaman gunting tanaman Daddy yang mengerikan.
“Kenapa Daddy menebangnya?” Teriakku histeris. Dad, setelah melakukan kejahatan itu hanya berkata,
“Hanya semak mawar, nanti juga tumbuh lagi, sudah, untuk apa menangis lelaki kecil? Daddy tidak mendengarkan.  Aku berlari ke arah kuntum-kuntum mawar dan daun-daunnya yang rontok. Daddy kejam! Bukankah tadi sudah kubilang, jangan sentuh pohon mawarku, karena di sini hidup Peter Rabbit dan keluarganya
“Kenapa Daddy menebangnya?tanyaku dengan suara yang nyaris tidak terdengar olehku sendiri. Di antara kuntum mawar di atas rumput aku duduk, meraih setangkai mawar terakhir lalu bangkit, membawa serta setangkai mawar ke rumah untuk di masukan ke dalam vas, menaruhnya di atas lemari yang berhadapan dengan ruang keluarga, supaya Mom, terutama Daddy tahu betapa aku sangat mencintai mawar ini.
Setiap hari, sebelum berangkat dan pulang dari sekolah, pekerjaanku tidak lain adalah memandangi sekuntum mawar di dalam vas. Sebentar lagi mungkin akan layu lalu mati. Aku berbicara padanya setiap hari, kadang disertai nyanyian tidak jelas juga kadang disertai isak. Mom sampai bingung melihat tingkah lakuku yang aneh semenjak kehilangan pohon mawar, sedangkan Dadd, aku tidak peduli lagi padanya.
Satu hari, dua hari, tiga hari, empat hari kuntum mawarku tidak juga mati. Pada hari kelima aku ingin mengganti airnya,  ketika aku mengambilnya dari vas bunga, aku melihat bahwa di bawah batang mawar itu, telah tumbuh akar dengan sendiri. Aku merasa air mata mengisi pelupuk mataku, lalu jatuh tanpa sempat aku sentuh. Mawarku kembali hidup. Aku pun memindahkan mawar itu ke tempatnya semula, di hamanan belakang, berdampingan dengan rumput-rumput kecil, dan mereka berpelukan satu sama lain sekarang. Ketika mawarku mekar, sepertinya ada sebatang pohon juga mekar di dalam jiwaku.
Di usiaku yang ke delapan belas, ketika aku sudah mempunyai adik perempuan bernama Matilda, yang juga sangat mencintai bunga Mawar di halaman belakang, seseorang bertamu ke rumah kami. Matilda yang membuka pintu.  Mom kemudian muncul dari dapur, mempersilakan tamu itu untuk masuk. Tidak lama kemudian Matilda berlari ke kamarku, mengatakan, kalau ada tamu yang hendak melihat pohon mawarku di belakang, Mom menyuruhku untuk menemaninya. Apakah tidak ada pekerjaan yang lebih penting dari sekedar mengantarkan seorang asing jalan-jalan ke halaman belakang? Apakah orang itu tidak mempunyai kaki?
Yang kutemui di ruang tamu adalah seorang gadis sebaya denganku. Dari wajah dan pakaian yang ia kenakan sepertinya ia bukan berasal dari daerah ini, bahkan bukan berasal dari negeri ini. Menurutku gadis itu cukup cantik, tidak cukup, tapi memang cantik, aku terpesona. Mengantarkannya melihat mawar di halaman belakang sepertinya menyenangkan. Kain putih polos yang menutupi kepalanya menandakan ia adalah seorang gadis muslim.
 “Mark, ini Hilal Yilmaz, ia berasal dari Turki, dulu, sebelum kita, keluarga Hilal-lah yang pertama kali menghuni rumah ini. Sekarang Hilal kuliah di London, berkunjung ke rumah kenangannya khusus untuk melihat semak mawar yang waktu kecil pernah ia tanam di halaman belakang. Hilal bertanya apakah pohon mawarnya masih tumbuh, Mom jawab, tentu saja, karena kamu adalah orang yang telah merawat mawar itu selama ini. Jadi kamu jugalah yang harus mengantarkan Hilal menemui bunga mawarnya, Mom masih ada urusan di dapur.
Matilda bisakan membantu Mom membuat pudding,” Mom seraya beranjak ke dapur, Matilda mengikutinya dari belakang.  
Aku mengangguk pada gadis Turki itu. Ternyata dialah yang memiliki pohon mawarku sebelumnya.
Di halaman belakang gadis itu sibuk mengabadikan pohon mawar dengan kamera dari telepon genggamnya, mengabaikanku, ia kira aku patung.  Ia kira aku guide-nya saja.
“Waktu kecil aku senang sekali memandangi mawar ini dari balik jendela kamarku. Kamu percaya jika aku memperoleh benih mawar ini dari dalam mimpi? Sesosok peri dari kastil di atas bukit, memberikan benih mawar padaku. Katanya akan ada keluarga kelinci yang akan berumah di bawah semak mawar bila aku menanam mawae ini. Menurut dia, mawar ini kelak akan mengantarkanku pada seorang pangeran Inggris. Ketika aku terjaga pada pagi harinya, aku dapati sekotak mawar mungil di samping tempat tidur, apakah Ummi atau Abi yang menaruhnya di sana aku tidak tahu, karena hari itu pun tepat hari ulangtahunku. Sayang, aku belum sempat melihat keluarga kelinci hidup di bawah semak, ketika mawar itu mulai tumbuh, kami sekeluarga harus meninggalkan negeri ini. Untuk pulang ke Turki.Kisah gadis itu.
Dalam hati, aku memercayainya dan tentu mawar-mawar ini senang bisa bertemu kembali dengan orang yang pertama kali mencurakan kepada mereka kasih sayang.

                Cianjur 2010



Minyak Telon Ibu



Akhirnya aku mengerti. Kenapa ibu selalu melumuri kulitku dengan minyak telon saban pagi. Tatkala matahari menyeruak dari balik daun singkong, mengintipku melalui celah jendela, lalu dengan pelukannya yang lembut ibu membawaku ke ladang singkong guna menjemur dan membasuh telapak kakiku dengan bulirbulir embun. Aroma telon yang harum akan menjadi azimat jika kelak engkau tersesat, bisik ibu di sela doanya pagi itu.

Ibu adalah baiduri, tempat pertama kali aku mengenal cinta. Suatu hari, kulihat baiduriku diamdiam menjatuhkan embun serupa pecahan beling di kedua danau pada wajahnya yang bening. Bapak pulang, membawaku pergi dari rumah di samping ladang singkong. Suara ibu terdengar samar, memanggilku untuk kembali. Tapi bapak malah menyuruhku memanggil perempuan lain dengan sebutan ibu. Padahal belum sekalipun ia melumuri tubuhku dengan minyak telon dan doadoa seperti yang dilakukan ibu padaku.

Ibu benar, aku tidak akan bisa pergi terlalu jauh darinya. Kota membuat telingaku tuli, bangku kayu terlalu sunyi untuk kujadikan kawan berbagi. Tubuhku mulai di tumbuhi lumut, jalan pulang mulai berkabut. Kucari aroma minyak telon di sudutsudut gang, di malammalam tanpa mimpi, di etalase toko, tapi tidak ada satu pun minyak telon yang bisa mengantarkanku ke ladang singkong, kepada surga di bawah telapak kakimu.

                                                                                  2010

Tanda Tangan Penyair






Dalam tempo tidak lebih dari dua minggu ini aku bersua dengan dua orang tokoh penyair, sastrawan dan budayawan Indonesia di Cianjur. Kang Godi suwarna, dan sapardi djoko damono. Beberapa tahun lalu, aku pun merasa beruntung dapat bertemu, bahkan duduk satu meja dengan Acep zamzam noor pada acara diskusi puisi di kafe seorang pelukis, Adam jabar, sempat photo-photo dan minta tanda tangannya juga.

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika aku bisa bersua, mengobrol dan berjabat tangan dengan beliau! Sungguh akhir-akhir ini banyak sekali keajaiban –Nya yang Ia tampakan padaku.

Kang Godi suwarna, orangnya sangat ramah, beliau bahkan menyapaku lebih dulu, dan ketika aku bertanya bagaimana caranya agar tulisan yang kita buat bisa memiliki ruh, beliau menjawab dengan cepat, detail dan sangat menyenangkan. Waktu itu aku bertemu kang Godi, yang kemarin baru saja membacakan puisi sundanya di Jerman, saat aku diundang jadi pembicara di SMANSA Cianjur, bersamaan dengan acaranya 
 Kang Godi di ruang lain!

Sapardi Djoko Damono, sebagai seorang guru  besar. Dengan senang hati beliau melayani permintaan tanda tangan dariku.