Jumat, 19 Agustus 2011

Dari pementasan puisi Audry juliane

Sepertinya aku merasakan kehadiran Alm. Ws. Rendra di ruangan ini

Aku melihat ranting yang rebah. Daun pisang. Hijau. Terbang di atas hitam. Ada sampah di tempatnya yang begitu indah. Menguarkan aroma sepi. Sudah terlelapkah mereka? Jika memang iya, kenapa aku tidak mendengar dengkurnya? Anak-anak muda yang berada di sekelilingku pun juga tidak mendengar dengkurnya.

Yang aku dengar hanya kidung, seseorang, bukan, tapi beberapa orang, melantunkan bait-bait puisi. Meskipun di luar bulan sedang sabit, namun di ruangan ini aku melihat purnama. Bukan hanya melihat, namun mendengar dan merasakan.

Purnama itu terlantun begitu lembut, nyaris kapas, tapi kenapa aku dibuatnya  menangis?

sajak bulan purnama-Ws Rendra

Bulan terbit dari lautan.
Rambutnya yang tergerai ia kibaskan.
Dan menjelang malam,
wajahnya yang bundar,
menyinari gubug-gubug kaum gelandangan kota Jakarta.

Langit sangat cerah.
Para pencuri bermain gitar.
dan kaum pelacur naik penghasilannya.
Malam yang permai anugerah bagi sopir taksi.
Pertanda nasib baik bagi tukang kopi di kaki lima.

Bulan purnama duduk di sanggul babu.
Dan cahayanya yang kemilau membuat tuannya gemetaran.

“kemari, kamu !” kata tuannya
"Tidak, tuan, aku takut nyonya!"
Karena sudah penasaran
oleh cahaya rembulan,
maka tuannya bertindak masuk dapur dan langsung menerkamnya

Bulan purnama raya masuk ke perut babu.
Lalu naik ke ubun-ubun menjadi mimpi yang gemilang.
Menjelang pukul dua,
rembulan turun di jalan raya,
dengan rok satin putih,
dan parfum yang tajam baunya.
Ia disambar petugas keamanan,
lalu disuguhkan pada tamu negarayang haus akan hiburan.

Yogya, 22 Oktober 1976
Potret Pembangunan dalam Puisi

Kemudian aku melihat seorang lelaki membacakan sajak mengenai ronggeng. Genit dan menggoda. Tangan, mata, dan barangkali juga jiwa, menari. Di belakang, bebayang tubuhnya pun menari.

Setelah itu, seseorang membacakan sajak tangan, lembut, haru.

Airmataku nyaris benar-benar tumpah manakala seseorang, di depanku, membacakan sajak burung kondor. Sepanjang ia melantunkan sajak, atau mantra? Tubuhku merinding, dalam kesendirian aku hayati keindahan.

Batu-batu melingkar di lantai. Mereka mendengar. Mereka tidak tidur. Batu-batu bercahaya.

sepertinya aku merasakan kehadiran Alm. Ws. Rendra di ruangan ini

Di Gedung Dewan Kesenian Cianjur, 2010


0 komentar:

Posting Komentar