Selasa, 22 November 2011

Puisi Goenawan Moehamad Dalam Buku 'Misalkan Kita Di Sarajevo'


Perempuan itu menggerus garam

Perempuan itu menggerus garam pada cobek
Di sudut dapur yang kekal
“Aku akan menciptakan harapan,” katanya, “pada batu
Hitam.”
Asap tidak pernah singkat. Bubungan seperti warna dunia
Dalam mimpi Yeremiah.

Ia sendiri melamunkan ikan, yang berenang di akuarium
Seperti balon-balon malas yang tak menyadari warnanya,
Ungkapannya, di angkasa. “Merekalah yang bermimpi,”
Katanya dalam hati.

Tapi ia sendiri bermimpi. Ia mimpikan busut-busut terigu yang
Trun, seperti hujan menggerutu. Di sebuah lading. Enam
Orang berlari seakan ketakutan akan matahari. “Itu semua
Anakku,” katanya. “Semua anakku.”

Ia tidak tahu ke mana mereka pergi, karena sejak itu tidak ada
Yang pulang. Si bungsu, dari sebuah kota di Rusia tak pernah
Menulis surat. Si sulung hilang. Empat saudara kandungnya
Hanya pernah mengirimkan sebuah kalimat,
“Mak, kami hanya pengkhianat.”

Barangkali masih ada seorang gadis, di sajadah yang jauh,
(atau mungkin mimpi it hanya kembali),
Yang tak mengenalnya. Ia sering berpesan dengan bahasa diam
Asap pabrik. Ia tak berani tahu siapa dia, ia tidak berani tahu.

Perempuan itu hanya menggerus garam pada cobek
Di sudut dapur yang kekal.

1995

Zagreb

Ibu itu datang, membawa sebuah bungkusan, datang jauh dari
Zagreb. Ibu itu datang, membawa bungkusan, berisi sepotong
Kepala, dan berkata kepada petugas imigrasi yang memeriksanya:
“Ini anakku.”

Suaranya tertoreh
Di beranda kantor tapal batas
Orang-orang menoleh
Cahaya cemas

Jam di atas meja itu seakan-akan menunjuk
Bahwa senja, juga senja
Tak akan bisa lagi meninggalkan mereka

Lalu ibu itu pun mendekat, dan ia perlihatkan
Isi bungkusannya, dan ia bercerita:

“Tujuh tentara menyeretnya dari ranjang rumah sakit,
tujuh tentara membawanya ke tepi hutan dan menyembelihnya,
tujuh musuh yang membunuh sebuah kepala yang terguling dan
menggelepar-gelepar dan baru berhenti, diam, setelah mulutnya
yang berdarah itu menggigit segenggam pasir di sela rumputan.

“Kesakitan itu terbungkus di sini, dalam sisa kain kafan.
Umurnya baru 21 tahun. Lihat wajahnya. Anak yang rupawan.”

Pohon-pohon platan yang terpangkas, berkerumun
Seperti patung-patung purba, bertahun-tahun
Lamanya, di pelataran. Gelap mulai diam,
Mulai seragam
Dan di kejauhan ada sebuah kota, kelihatannya: kaligrafi cahaya,
Coretan-coretan api pada ufuk,
Isyarat dalam abjad,
Kata-kata buruk

Tak ada yang membikin kita bebas rasanya
Opsir itu pun tertunduk, memimpikan anak-anak, oknum yang
Bercerita tentang cheri pertama yang jatuh pada pundak
Mereka tak ada lagi, bisiknya, tak ada lagi

Hanya seakan ada yang meneriakan tuhan, lewat lubang angin
Di tembok kiri, ke dalam deru hujan, menyerukan ajal,
Memekikkan jajal, dan desaunya seperti sebuah sembah
Yang tak jelas,
Nyeri, sebuah doa dalam bekas

Apa yang ingin kita lakukan setelah ini?
Ibu itu: ia membungkus kembali kepala yang dibawanya
Dari Zagreb, dan melangkah ke jalan.
Orang-orang tak menawarkan diri untuk mengantarkan
Di sana, di akanan kejauhan, arah raib, zuhrah raib
Bintang barangkali hanya puing, dan timur, dimanapun timur,
Hancur,

Tapi barangkali ia tahu apa nama kota berikutnya

1994

Doa persembunyian

-di sebuah gereja Rumania
Untuk ivan dan evelina

Tuhan yang meresap di ruang kayu
Di gereja dusun,
Di lembah yang kosong itu
Kusisipkan namamu

Jangan jadikan kerajaanmu

Bebaskan aku dari sempit yang gelap
Seperti surge
Yang gemetar ini

Beri aku
Tuah, dari isim yang asing
Seperti sepatah kata ibrani
Dari lidah tuan padre

Beri aku
Merah anggur yang tumpah
Sebelum mereka datang

Sebelum mereka
Melintasi makam peladang
Dan menangkapmu
Dari jemaah yang tidur
Di getsamani ini

O tuhan yang lenyap
Dalam ruang kayu
Yang hitam, sehitam tembakau,
Kusembunyikan namamu

Kusisihkan laparku
Takutku,
Pedangku

1996

Permintaan seorang yang tersekap
Di Nanking, selama lima tahun itu

Tuhanku, komandanku, Engkau, siapapun Engkau, pergilah
Dari Nanking

Di luar kamar
Malam hanya menghafal
Lolong langit anjing

Pergilah dari hamp, dari kamp,
Pergilah dari harap yang tersisa
Seperti sekam,

Berangkatlah dari kawat duri yang sabar,
Dari revolusi,
Dari percobaan sebesar ini

Tuhanku, siapapun Engkau, pergilah
Dari Nanking
Tinggalkan setasiun
Ke salju dan danau, cantumkan cahaya Baikal
Di malam yang sebentar
Dan sematkan sekilas bulan yang runcing
Seperti leontin

Sampai pada lanskap ini tak ada lagi yang baka,
Tak ada yang beku
Sebeku titahMu, mungkin
Sebeku namaMu.

Tuhanku, siapa pun Engkau, pergilah
Dari Nanking,

1996-1997



0 komentar:

Posting Komentar