Menulis Puisi Bagi Saya Adalah Bercerita 
Kisah  si  Cabe Merah
Ini
 hari terakhir cabe merah menjadi penghuni kamar kontrakan di bawah 
pasar gudang kelabu. Lantai papan serta dindingnya yang ditempeli Koran 
akan menjadi kenangan. Juga lampu lima watt yang menyala terang. Pada 
dinding cabe merah mengeluh pusing. Kepala lonjongnya berdenyut-denyut, 
daun kuning kering terbakar matari sukabumi telah lama melepuh, 
orang-orang mengiranya dari nusatenggara, orang sunda kulitnya 
putih-putih, kamu seperti orang Indian berkulit merah. Kurus batang 
tubuhnya merupakan mahakarya dari Allah Swt. Tidak boleh ada yang 
menghina. Perutnya mual. Mungkin aku hamil. Bisik cabe merah pada 
dinding. Tapi tidak ada sejarahnya cabe merah dibuahi cabe keriting. 
Udara yang tidak segar menyentuh daun pipinya. Aku tidak boleh mati 
dengan gegabah. Cabe merah ingin mati tatkala shalat tahajud biar 
khusnul khotimah. Di kuburan pasti sangat gelap, tapi setidaknya ada 
malaikat yang akan menemaniku, malaikat yang akan melayaniku. Hihihi. 
Cabe merah terkikik. Tapi bagaimana kalau yang datang adalah malaikat 
jabaniah. Ini hari terakhir cabe merah di kamar kontarakan. Ia tidak 
ingin berduka hati. Sambil menghadap kiblat kaum lusuh cabe merah 
kencing. Mengalirkan bosan ke sungai hitam. Aku merindukan bunga pete 
juga susukan tempat dulu menangkap hurang. Kampung halamanku indah 
permai di kaki gunung salak. Ada banyak air terjun. Sawah dan hutannya 
ranum.
Aku dan ibu sering mengambil kayu bakar, juga 
ngundeur jotan. Bersama  teh Iis aku senang ngala tutut, unil dan 
ikan-ikan kecil. Kabarnya teh Iis sudah punya dua bayi. Aku masih 
menggelandang kian kemari. Waktu kecil aku nakal sekali, sudah besar 
bertambah nakal. Aku pernah mengencingi kasur mama. Pernah hendak bunuh 
diri ke jurang, kabur dari rumah sembunyi di tepi sungai bertilamkan 
daun-daun dicari orang sekampung. Gemetar ketakutan dalam peluk ibu 
ketika seorang kerabat mengacungkan golok hendak memenggal kepala ibu, 
beruntung nenek yang masih hidup menahan kerabat itu. Kerabat yang 
sekarang sudah jadi ustadz, bagiku, masa lalu itu semacam memorial yang 
terpancang di tengah lapang. Sangat tinggi. Sangat besar. Kemana pun 
pergi memorial yang bagai menara katedral itu terlihat.cabe merah 
menggelinding dengan baju lusuh. Rukuk dan sujud di antara tukang sayur 
dan jengkol. Pabila lelah ia tidur di beranda mushola. Pabila lapar ia 
membuat satu puisi cinta. Membacakannya di depan waria yang mangkal di 
rel kereta. Berharap selembar-dua lembar ribuan untuk dibelikan 
gorengan. Aku cabe merah kesepian.
Perihal Kata yang Menggema Dari Tempat Gulita
           
 “Dan telah kami jadikan (Isa) putra maryam beserta ibunya suatu bukti 
yang nyata bagi (kekuasaan kami), dan Kami melindungi mereka di suatu 
tanah tinggi yang datar yang banyak terdapat padang-padang rumput dan 
sumber-sumber air bersih yang mengalir.” (Qs. Al-mu’minun:50)
Rumput ialah
 tumbuhan yang lekas tumbuh lekas hilang juga, sifatnya tidak tetap, ia 
tumbuh di mana pun ia suka, tanpa perlu susah-susah orang menanamnya, 
seringkali diinjak-injak, dibakar, dijadikan pakan ternak, anehnya 
rumput selalu tumbuh dan tumbuh lagi, di tempat kering maupun sejuk. Ia 
jenis ilalang yang berbatang kecil, banyak jenisnya, batangnya beruas, 
daunnya sempit panjang, bunganya berbentuk bulir dan buahnya berupa 
biji-bijian. Dalam kitab suci enam kali Allah menyebut rumput-rumputan 
dalam firmanNya. Bahkan dalam surat Al-a’la dua kali berturut-turut 
Allah menyebutnya. 
Dan yang menumbuhkan rumput-rumputan, lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitaman-hitaman
 (Qs.Al-A’la:4-5) dalam surat Shad ayat 44 Allah swt. menyuruh Nabi 
Ayyub menggunakan seikat rumput sebagai senjata. Dalam surat lainnya 
dengan sangat indah Allah menganalogikan kehancuran kaum samud  
seperti rumput-rumput kering (yang dikumpulkan) oleh yang mempunyai kandang binatang (Qs. Al-Qomar:31) 
Tidak
 salah apabila Widji thukul si penyair kaum pergerakan yang sampai kini 
entah dimana keberadaannya itu, menganggap rumput lebih kuat dari apa 
pun, dari tembok dan puncak menara gading licin dan gemerlap dengan 
cahaya.  Disadari atau tidak, ternak mereka tidak akan hidup tanpa makan
 jenis rumput-rumputan, padi-padian. Pun si burung merak Rendra, dengan 
gagah dan lantang ia bersuara, 
alang-alang dan rumputan/bulan mabuk di atasnya// (Serenada Biru) Di
 Indonesia, rumput menjadi koloni yang diagungkan pada masa Sukarno, 
berganti kekuasaan, rumput kian terabaikan bayang pohonan yang tinggi 
menjulang: nyiur melambai, kayu jati, gedung-gedung pencakar awan.
Rumput
 tercatat dalam kitab suci. Saya tidak tahu di surga ada rumput atau 
tidak, tapi dalam puisi, dalam ranah susastra kata-kata berkali-kali 
menggema dari sebuah tempat paling gulita yang tertanam di dasar bumi. 
Mengakar. Menjeritkan kebosanan dan kesepian yang akut.
Cerita Lelaki Rumput di Padang Tundra
Sepi
 telah menjadi pengantin saya. Sungguh mengerikan apabila ini 
benar-benar menjadi sebuah ketentuan dari-Nya.  Apakah seseorang bisa 
mengelak dari takdir, dari ketentuan. Jika diperkenankan memilih, saya 
tidak ingin memilih menikah dengan sepi. Semua orang punya jodohnya 
sendiri, tapi kenapa sepi yang menjadi jodoh saya. Sepi yang paling 
mengerti saya. Akhirnya sepi membuahi saya (kami tidak pernah 
benar-benar menikah) akan tetapi tidak perlu menikah bukan untuk 
mempunyai seorang anak. Tidak perlu kawin terlebih dulu. Kalau Allah 
sudah berkehendak, Maryam perempuan suci pun bisa memiliki anak.
Anak-anak
 saya adalah puisi-puisi yang entah kenapa selalu saya pungkiri 
keberadaannya itu. Saya menolak menjadi sama. Semua orang melahirkan 
bayi manusia. Padahal kucing saja bisa melahirkan empat ekor dalam satu 
malam. Ini bisa dianggap sebagai wujud keputusasaan. Puisi lahir tanpa 
saya kehendaki. Sepertinya puisi memilih saya untuk tempat mereka lahir.
 Puisi yang banyak menghilang. Menjadi peradaban yang hilang. Sejak Mts 
saya sudah membukukan tulisan saya di sebuah buku tulis, sejak Paket C 
pun begitu, sejak tinggal di antara lalulalang kendaraan pun begitu. 
Kata-kata seperti rumput yang tumbuh seenaknya, hilang seenaknya. Saya 
tidak punya kebun atau ladang yang bisa menyimpannya. Saya bukan petani,
 saya pengembara, orang gifsi yang mencari peruntungan dengan meramal 
nasib orang-orang, meramal alam semesta sementara dirinya dibiarkan 
menggelandang dan kesepian. Terpuruk berlumut mengerak di dasar kolam 
paling jahat.
Puisi saya tidak indah, puisi saya tidak 
pernah saya kirim ke sekolah, ke tempat yang orang lain bilang Koran dan
 majalah. Apalagi menangkring dengan nyaman di salah satu rak buku di 
tengah kota. Berkali-kali saya mengingkari puisi, berkali-kali pula 
puisi menghampiri, mengajak bercanda, menari. Saya tidak berani membuat 
puisi, apalagi mengklaim diri sebagai seorang penyair, meski waktu kecil
 saya pernah berucap, bahwa cita-cita saya adalah menjadi pujangga, dan 
seorang teman mendoakannya, katanya, 
teruskanlah cita-citamu menjadi pujangga atau penyair, shobur mendoakan dan mendukungmu barangkali itu sebuah kutukan.
Saya
 tidak siap untuk mempunyai satu kumpulan, puisi terutama. Bagi saya, 
menjadi penyair itu sama sulitnya dengan menjadi manusia. Ia bukan hanya
 dituntut untuk pintar, tapi juga harus memiliki kepekaan dan rasa yang 
sangat kental. Asy-Syu’ara, Tuhan berfirman dalam kitab sucinya, tentang
 Asy-Syu’ara, Para Penyair. Menjadi satu surat panjang berkisah mengenai
 para Nabi serta peringatan kepada penyair-penyair. Menjadi penyair 
tidak boleh main-main. Maka dari itu saya lebih senang menyebut diri 
saya rumput, lelaki runput. Hidup tanpa dibatasi pagar dan apa pun 
keadaan.
Saya terharu membaca tulisan Rilke dalam suratnya untuk penyair muda
Barangkali
 memang sudah merupakan panggilan bahwa kau harus jadi seniman. Maka 
terimalah takdirmu itu, tanggungkan naik bebannya maupun kebesarannya, 
tanpa minta-minta penghargaan dari luar dirimu. Karena seorang pencipta 
haruslah menjadi sebuah dunia bagi dirinya sendiri, dan menemukan 
segala-galanya di dalam dirinya sendiri, serta di dalam Alam tempat 
dirinya berada.
Namun setelah masuk ke dalam diri dan  
ke  dalam  kesendirianmu,   mungkin kau harus melepaskan keinginanmu 
untuk menjadi penyair; (bagi saya, seseorang bisa hidup tanpa harus 
menulis daripada samasekali berspekulasi untuk itu). Meskipun demikian, 
upaya memusatkan perhatian ke dalam diri sendiri yang kuanjurkan itu, 
tidaklah sia-sia. Bagaimanapun juga hidupmu sejak itu akan menemukan 
jalannya sendiri. dan kuharapkan hidupmu menjadi baik dan kaya serta 
tinggi pencapaiannya lebih dari apa yang bisa aku ucapkan.
Akhirnya
 aku ingin menasehati agar mau menumbuhkan dirimu secara serius. Serius 
sahabatku.jika memang benar apa yang Rilke bilang sebagai 
sudah merupakan panggilan bahwa kau harus jadi seniman. Maka terimalah takdirmu itu. Maka sudah seharusnya aku serius dengan apa yang sudah digariskan.
Rumput
 di padang tundra tidak pernah serius dengan hidupnya. Tapi ia serius 
dengan pilihannya. Ia tidak ingin mengecewakan amanah yang sudah 
orang-orang embankan padanya. Kuliah, mengaji, menulis, membaca, 
mengajar. Ya itu adalah mimpi saya. Saya bangga menjadi guru. Ya guru. 
Apa pun tantangannya akan saya lewati. Menjadi guru, menjadi mahasiswa, 
menjadi santri, aktivis, seniman, penulis. Sebentar, saya ingin tertawa 
terlebih dulu, apa rumput boleh menjad guru? Kalau pun tidak boleh tidak
 apa, saya akan mengajar dengan bahasa saya sendiri, bahasa rumput, 
menjadi mahasiswa bagi semesta saya. Menuliskan apa yang saya rasa, apa 
yang membuat saya sedih dan senang karenanya.
Hidup tidak 
lain sebuah labirin. Kita tidak tahu apa yang akan kita temui di balik 
gang, di balik tikungan dan kebosanan. Saya tidak pernah mengira bisa 
diundang ke acara Majelis sastra Asia Tenggara, bersua dengan penyair 
dari Malaysia, Brunei dan para pendekar sastra! Ini undangannya langsung
 dari kementrian. Sebelumnya saya juga tidak pernah mengira bisa bertemu
 dalam satu buku dengan penyair muda jawabarat terkini dalam antologi 
puisi 64 Penyair jawabarat terkini, 
di kamar mandi , acara lounchingnya berlangsung meriah di Cibutak-Bandung.
Sebelumnya
 rumput pun tidak pernah mengira dapat mengisi acara Penyair Muda Bicara
 di Gedung Dewan Kesenian Cianjur, pun menjadi dewan juri lomba membaca 
dan menulis puisi, menjadi pembicara di SMA satu Cianjur, berdiskusi 
dengan mahasiswa Bahasa dan Sastra Universitas Muhammadiyah Sukabumi, 
padahal SMA formal pun saya tidak merasakan, sekarang saya menjadi 
pengajar bahasa Indonesia di SMA! Sebuah keajaiban kalau tidak bisa 
dibilang sebuah mukjizat. Saya sangat bersyukur masih bisa diberi 
kepercayaan menghirup udara dan tinggal di bumi-Nya. Satu tahun kuliah 
Tarbiyah membuat pemikiran saya terbuka. Ilmu ke Islaman ternyata luas 
adanya, belum lagi ilmu ke Islaman di pondok-pondok salafi, meski saya 
kewalahan dalam ilmu eksak dan menghapal, juga berhitung, bahasa 
arab-inggris dan sebagainya, saya mencoba untuk tidak menyerah. Saya 
menyukai mata kuliah ilmu tafsir, filsafat, psikologi. Saya menyukai 
kesendirian dan keramaian sekaligus. Saya mencintai dan menyayangi apa 
yang Ia titah dan apa yang Ia bilang tidak boleh. Sekaigus. Saya adalah 
tukang sortir, saya bisa sebenarnya memilah dan memilih mana yang baik 
dan mana yang buruk. Tapi kembali lagi, saya selalu mengedepankan rasa.
Riwayat Rumput 
           
Saya berasal
 dari keluarga rumput, keluarga babu, pembantu. Nenek saya sampai kini 
masih bekerja sebagai tukang cuci di rumah-rumah orang tionghoa kaya. 
Ibu kandung saya sempat kabur dari majikannya, loncat dari loteng karena
 dikunci dari luar kamar tidur dan tidak boleh menunaikan shalat, tanpa 
membawa uang kemudian naik angkutan metropolitan, bisa pulang ke kampung
 karena derma dari penumpang angkutan. Kakak perempuan pertama saya 
menjadi pembantu rumah tangga  ketika ia kelas empat sekolah dasar. 
Kakak laki-laki kedua saya sempat bekerja di took onderdil motor 
kemudian menikah dengan seorang janda kemudia cerai dan kini bantu-bantu
 bapak bekerja di gudang menyortir sampah. Kakak ketiga sayahanya 
lulusan sekolah dasar, kemudia kursus menjahit tidak selesai dan 
melanglang buana sebagai pembantu rumah tangga di berbagai kota sebelum 
akhirnya pulang ke kampung untuk mengaji dan menemukan jodohnya, seorang
 ustadz, namun dengan tiga anak tiri. Setelah dikarunia anak perempuan, 
suami kakak saya meninggal, kini ia kembali bekerja sebagai pembantu 
rumah tangga di Jakarta setelah diusir anak-anak tirinya.
Bahkan
 ibu tiri saya pun adalah mantan TKW di arab Saudi, buruh migran. 
Membeli rumah di pinggir rel kereta di Sukabumi, bertemu bapak yang 
waktu itu bekerja sebagai tukang becak, yang waktu itu masih berstatus 
suami sah ibu saya yang tinggal di Bogor. Bapak saya menikah lagi. 
Anak-anak bertebaran seperti tetes hujan di hari menjelang siang.
Tidak
 ada darah seniman dalam diri saya. Saya memang aneh sendiri. Ketika 
semua saudara saya menikah dan mempersembahkan cucu bagi bapak dan ibu, 
saya malah asyik menggelandang dengan buku-buku susastra dan pikiran 
saya. Saya mencintai puisi, tapi bibir saya kelu kalau disuruh mengaji, 
padahal di masyarat, lebih penting seorang yang pandai mengaji daripada 
yang pandai membaca puisi. Hidup saya benar-benar hancur. Tapi saya 
benar-benar bahagia. Benar-benar beruntung. Dalam kesepian saya tertawa 
dan menangis.
Saya bersyukur dipertemukan orang-orang baik
 hati lagi berbudi. Terimakasih. Mimpi apa saya bisa mempunyai antologi 
puisi tunggal yang digarap pemenang Khatulistiwa Literary Award? Digarap
 para seniman hebat. Saya pun ingin menjadi hebat. Seperti mereka. 
Seperti para pujangga sebelumnya. Yang diabadikan dalam kitab tua. 
Meskipun awalnya saya lebih percaya diri ketika menulis cerita dan 
ocehan-ocehan rumput liar. Tapi kalau sepi telah membuahi saya, lalu 
lahir anak-anak puisi dari rahim saya, mau apa, saya harus menerima ini 
sebagai takdir.
Mengenai Senter Adam Kaisinan dan 61 Puisi yang Menunggu Takdirnya
            
Senter Adam
 Kaisinan menjadi buku puisi pertama saya, saya sangat senang manakala 
bapak yang baik hati menegur saya dalam pesan singkatnya karena saya 
yang berkesan nrimo apa saja yang akan terjadi dalam itu buku puisi, 
kata beliau, ini buku saya yang pertama, harus ketat baik di pengantar 
ataupun diksi, hehehe. Ya tahun lalu saya sempat keguguran karya, mau 
bikin buku tapi selalu tidak jadi. Secara tidak terduga Senter Adam 
Kaisinan ini pun lahirlah ke dunia. Berisi 30 puisi hasil menyuling dari
 saripati kehidupan dan sebuah perjalanan panjang. Di dalamnya saya 
bercerita macam-macam. Mulai mitologi sampai ke kehidupan sehari-hari. 
Dari kucing sampai cacing, dari biji sesawi sampai Nyi pohaci. Meski 
saya lama sekali hidup di daerah pinggiran perkotaan, tapi saya tidak 
bisa melepaskan sejarah, bahwa saya pernah menjadi anak kampung yang 
sehari-hari bermain dengan lumpur. Teman saya, penyair Lutfi mardiansyah
 bilang dalam reviewnya mengenai buku saya, katanya puisi saya ialah 
puisi dengan aroma padi. Saya tidak mau durhaka pada masa lalu saya. 
Memang benar, dalam satu puisi berjudul Sumur Bandung saya cantumkan 
mantra yang pernah singgah dalam kehidupan masa kanak saya,
 badagna, lembutna abid uwih ,
 mantra yang diucapkan setelah selesai mandi di kali agar tidak diganggu
 lelembut. Meski saya sadari, mitologi dan tradisi dalam puisi saya 
tidaklah sekental kesepian dan dongeng-dongeng yang memang sudah lama 
menjadi obsesi saya. Betul kang Kang Mugya Syahreza santosa dalam 
esainya yang berjudul, lelaki dan lemari puisi, yang mengatakan saya 
terobsesi dengan sayap, malaikat, hantu-hantu.
Tradisi dan
 mitologi saya jadikan setting berkisah, siluet yang sesekali terlihat. 
Saya bercerita mengenai saya yang kini, yang masih kental dengan 
ketakutan-ketakutan, lemari puisi saya kedodoran, banyak kata tidak 
beraturan di dalamnya, yang coba saya sortir, dalam arti sebenarnya, 
saya memang tukang sortir di gudangpenampungan barang bekas. Dalam puisi
 Adam Kaisinan, diawal bait saya cantumkan Mantra memandikan jenazah 
suka Baduy, Kenekes-Banten diambil dari buku Kesusastraan sunda. BP 1948
 Hal.36, Adam Kaisinan ialah Mitologi dari suku baduy, di mana Adam yang
 merasa berkuasa atas dirinya serta tidak percaya akan zat yang 
menciptakannya berubah wujud jadi pegunungan Kendeng di Banten Kidul, 
berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Sementara ruh Adam 
kaisinan menjelma jadi raja ular batara nagaraja.
Para ahli masih 
memperdebatkan apakah Adam kaisinan dalam mitologi Suku Baduy adalah 
Adam yang juga salah satu Nabi dalam Agama Syamawi.
           
 Yang saya
 sukai dari buku puisi ini ialah tema dan tempat ketika saya membuat 
puisi ini yang beragam. Ada beberapa puisi yang saya buat hingga harus 
guling-guling, memeras perasaan dan pikiran, juga melongok pada 
kenangan, mencari referensi bacaan, seperti puisi Adam kaisinan, Minyak 
Telon Ibu, Nyi pphaci, nenek memintal awan, kapulaga, ada juga beberapa 
puisi yang lahir tanpa ada kesulitan berarti, seperti bayi yang lahir 
kedua dengan lancar. Sepeti puisi, Hantu penjaga pagi, yang saya tulis 
malam-malam selepas isya di warnet, terinspirasi dari twitternya seorang
 penyair berita Metro TV, jemari saya bergerak tanpa beban apa-apa, 
kemudian jadilah itu puisi. Dalam puisi yang berjudul Berhenti, pun 
kejadiannya sama, puisi tersebut saya dedikasikan untuk penyair dari 
eropa, Attila, waktu itu saya sedang gelisah karena sebagai penulis kok 
saya tidak bisa menghasilkan apa-apa, saya berpikir, apa saya harus 
berhenti ? Puisi berjudul bunga ashar saya saya tulis di Kampus setelah 
Ospek, setelah saya berstatus mahasiswa, puisi Sayap Kenangan, saya 
tulis di sanggar Komunitas Sastra Cianjur, puisi Balon Ibu saya tulis di
 Selabintana, Puisi Madah Pendosa saya tulis di dalam pekat gudang, 
puisi Kamboja saya tulis ketika masih di sukabumi, kemudian saya edit 
dan jadilah puisi Kamboja yang sangat disukai oleh sobat saya dari 
Batam, puisi Kucing 1 dan kucing 2 saya benar-benar tulis karena 
disamping saya meringkuk seekor kucing, menemani kesendirian saya di 
dalam gudang kehidupan. 
Selain puisi dalam buku Senter 
Adam Kaisinan, yang cover bukunya sangat mistis, indah sekaligus 
surealis, masih ada 61 puisi yang menunggu takdirnya, yang saya rapikan 
dengan judul Aku Ingin Pergi ke Rusia, kerinduan saya pada sosok ibu, 
rasa sakit dan perih menanggung cinta yang tak kesampaian, obsesi saya 
pada kehidupan kaum marginal, onani, Indonesia, serta keinginan saya 
mengunjungi satu tempat bernama Rusia, saya tuangkan dalam buku yang 
masih menunggu takdir untuk lahir.
Akhirul kalam, saya 
mengucapkan terimakasih banyak kepada semua yang berkenan menemani dan 
memberi tumpangan hidup buat saya. Terimakasih
            
Senja
 menenggelamkan rupa. Malaikat-malaikat sibuk membagi buku amalan baru, 
setelah selesai mengambil catatan lama dan membawanya ke langit dengan 
putih helai sesayap cahaya. Rupaku penuh bercak. Sebelum Yasin berderai 
nanti malam, mohon maaf atas segala khilaf. 
(Khoer
 Jurzani-Bapak Guru di SMA SPelita YNH Sukabumi, Mahasiswa STAI 
All-Azhary Cianjur, tukang sortir sampah di gudang, lelaki rumput dan 
calon peraih Nobel Perdamaian) Buku puisinya yang akan terbit ialah 
Senter Adam Kaisinan, bisa dipesan dari sekarang via  Facebook : Buku 
Bianglala